Rabu, 27 Agustus 2014

Status Tanah Kintal di Palu Atas Nama Hadidjah

Ketika Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) DI/TII memasuki Kampung Soni, Distrik Dampal, sejak itu pula keamanan dan ketentraman masyarakat terganggu. Gerakan pengacau keamanan tersebut memperjuangkan terwujudnya Negara Islam / Darul Islam (D I) dengan menggunakan kekuatan Tentara Islam Indonesia (T I I).

Puncak kerusuhan ialah ketika pasukan pengacau dan pemberontak itu membumihanguskan semua bengunan rumah lalu menghalau seluruh penduduk masuk hutan untuk ikut bergerilya. Peristiwa yang meresahkan masyarakat ini terjadi pada tahun 1958.

Syukur, keluarga La Ewang dan beberapa keluarag yang lain tidak terlalu lama menderita dalam hutan (hanya kurang lebih 10 hari) karena berhasil lolos keluar rimba untuk selanjutnya masuk kota Toli-toli. Sementara keluarga-keluarga lainnya sudah terjebak dan tidak dapat lolos lagi karena sudah di bawah pengawasan ketat gerombolan DI/TII dan harus mendukung perjuangannya.

Di Toli-toli, keluarga La Ewang tidak terlalu menderita sebagai pengungsi karena cepat mendapat lahan pertanian berkat usaha Gowa Dg.Patompo (Pettana Sengngeng). Lahan itu adalah milik Andi Salihuddin Bantilan yang sudah jadi Kabokabo, terletak di Lantapan Distrik Galang, kurang lebih 20 km arah Utara kota Tolitoli. Karena luasnya lahan kabokabo tersebut, sehingga banyak keluarga pengungsi mendapat begian, antara lain Patompo ( Pettana Sengngeng ), Abduh ( Pettana Base ), La Ewang ( Pettana Husen), Djemain, Husen, Yusuf, Ambo Ida.dan lain-lain.

Sebelum penggarapan dimulai terlebih dahulu dibuat perjanjian di atas kertas segel antara pihak I (Pertama) sebagai pemilik lahan dengan pihak II (Kedua) selaku penggarap.

Isi perjanjian tersebut antara lain:

· Lahan akan dibagi dua antara pihak I dengan pihak II setelah digarap selama 3 tahun.

· Apabila dalam jangka waktu tiga tahun, lahan itu belum jadi sawah yang baik, maka pihak I berhak menarik kembali lahan itu tanpa dibagi dengan pihak II .

Perjanjian ini disepakati tahun 1959. Setelah, itu barulah para pekerja mulai membabat hutan yang sudah sekian lama tidak terjamah oleh manusia ( kabokabo ).

Abd. Mudjib yang tadinya mengungsi bersama mertuanya (Daeng Manenring) di Lakatan, pindah bergabung dengan orang tuanya ( La Ewang )di Lantapan setelah mengetahui bahwa orang tuanya mendapat lahan garapan untuk pertanian.

Pada mulanya, Mudjib hanya hendak membantu ayahnya mengolah lahan itu, tetapi Ibunda Fathimah mengatakan “Jangan!, Jangan!”. Kau sudah punya istri dan nanti akan punya anak (Mahirah masih dalam kandungan ibunya Hatidjah). Untuk itu, ditentukanlah bagian yang menjadi garapannya, yang diambil dari bagiannya La Ewang.

Demikianlah, dari hari ke hari, bulan ke bulan, para petani bekerja dengan semangat dan penuh harap, tiba-tiba tahun 1960, Abd. Mudjib mendapat panggilan dari Tentara resmi pemerintah supaya segera pulang ke Soni untuk menjabat sebagi Kepala Kampung Soni, menggantikan Abd. Rahman Daeng Pawellang yang sudah duluan mengungsi ke Wani Palu.

Untuk melanjutkan penggarapan lahannya itu, Mudjib mempercayakan kepada salah seorang petani dengan perjanjian hasil panennya diambil semua. Jadi praktis, Mudjib hanya satu tahun saja menggarap lahan itu / satu kali panen.

Suasana di pemukiman baru itu rasanya cukup tenteram, damai dan sejahtera dibanding dengan pengungsi-pengungsi lain, yang hanya makan ubi dan jagung..Dalam suasana aman seperti itu tanpa terduga, gerilyawan DI/TII dari Dampal melakukan ekspansi pengaruh sampai ke wilayah Distrik Galang akhir tahun 1961. Karena trauma dan takut akan terjadi seperti di Dampal dahulu, maka banyak orang yang meninggalkan perkampungan itu. Khusus La Ewang dan Khalid Bakri (anak mantu ) memutuskan untuk berangkat ke Makassar Sulawesi Selatan.

Sesuai perjanjian tahun 1959, maka pada tahun 1963 Andi Salihuddin Bantilan melakukan pembagian lahan persawahan dengan pekerja-pekerja. ( LaEwang masih di Sulawesi Selatan ). Karena garapannya La Ewang dianggap sudah memenuhi syarat, maka ia berhak memperoleh ½ (separuh) dari luas areal garapannya, sedangkan Mudjib walaupun sudah ditentukan bagiannya, namun masih ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu harus membersihkan seluruh akar-akar pohon kayu dan bambu-bambu yang masih tersisa di areal itu.

Dengan tertangkapnya Bung Rasyid sebagai gembong gerilyawan DI/TII di Sulawesi Tengah tahun 1963, keamanan berangsur-angsur pulih, para pengungsipun pada kembali ke kampung halamnnya semula, baik yang dari gunung-gunung maupun dari kota-kota. La Ewang sekeluarga kembali ke Soni akhir tahun 1964 setelah 6 tahun ditinggalkan.

Setelah beberapa tahun berada di Soni, Ibunda Fathimah dan saya (Hasan) berangkat ke Tolitoli dengan naik perahu layar (Sande) selama 20 jam untuk mengetahui dengan jelas duduk persoalannya hasil pembagian Andi Salihuddin terhadap lahan persawahan yang pernah digarap, karena terdengar berita bahwa Abd. Mudjib tidak kebagian dari lahan itu.

Pertama-tama yang ditemui ialah Gowa Dg. Patompo dan isterinya, Ramlah ( Pettana / Indona Sengngeng ) di Kalangkangan Galang (10 km dari Kota Tolitoli). Menurut Patompo/Ramlah, waktu pembagian dulu, Mudjib juga dapat bagian dari hasil kerjanya, hanya saja karena lahan itu masih banyak pohon dan akar-akar kayunya sehingga kuasa pihak Andi Salihuddin memberikan waktu kepada Mudjib untuk diolah lagi. Guna memenuhi harapan itu, Patompo yang ikut hadir saat pembagian tersebut mempercayakan kepada orang lain untuk membersihkan sisa-sisa pohon dan rumpun bambu pada area itu.

Pada tahun pertama, pekerja itu dapat mengolahnya dengan baik dan memanen padinya, tahun kedua, juga masih sempat mengolahnya, tetapi menjelang panen, pekerja itu jatuh sakit dan tidak sempat memetiknya tepat pada waktunya, sehingga kuasa Andi Salihuddin-lah yang memanennya dan pada musin tanam tahun ketiga, lahan itu telah diambil alih oleh kuasa Andi Salihuddin, dialah yang mengolah dan mengambil hasilnya, dan orang yang dipercayakan oleh Patompo tadi tidak bisa berbuat apa-apa. Sejak itulah hak Mudjib atas tanah sawah tersebut dianggap sudah tidak ada lagi, cerita Patompo dan istrinya Ramlah. Mendengar keterangan seperti itu Ibunda Fathimah tidak mau mengerti dan berkeras hendak menjajaki dan mencari orang-orang yang dianggap lebih banyak mengetahui tentang pembagian lahan itu.

Pada keesokan harinya kami bertiga (Ramlah, Fathimah, dan Hasan) mulai menelusuri dan mencari orang-orang yang bisa memberi keterangan yang diperlukan, dicarilah kepala kampung Lakatan/Lantapan, Punggawa Galung, orang yang pernah mengolah sawah itu, orang-orang yang turut hadir saat pengukuran dan pembagian sawah dan lain-lain. Waktu yang digunakan untuk mencari sumber informasi itu hampir sehari penuh, mulai start jam 07.00 pagi sampai 17.30 sore. Hal ini disebabkan rumah mereka terpencar dan berjauhan satu dengan yang lainnya. Syukur, karena orang-orang yang ditemui semuanya mengakui bahwa benar Mudjib punya bagian dari hasil keringatnya. Sebagai bukti pengakuan dan penyaksian mereka ialah semuanya menandatangani surat penyaksian yang kami siapkan.

Atas informasi dan pengaukan beberapa orang itu, Ibunda Fathimah nampak merasa lega dan puas karena sudah ada pegangan untuk menghadap kepada Andi Salihuddin. Keesokan harinya saya bersama ibunda meninggalkan Kalangkangan menuju rumahnya Abd. Rasyid Siduppa di Toli-toli untuk selanjutnya menemui Andi Salihuddin Bantilan.

Ketika akan ke rumahnya Andi Salihuddin kami diantar oleh Abd. Rasyid Siduppa sampai di halaman rumahnya. Setelah masuk rumah dan ketemu dengan Andi Salihuddin dan istrinya, ibunda mulai angkat bicara dengan mengemukakan duduk persoalannya lahan hasil garapannya Mudjib. Secara spontan Andi Salihuddin dan istrinya, Andi Lenna Bantilan mengatakan Mudjib tidak ada bagiannya karena dia tinggalkan sebelum selesai pekerjannya dan dianggap lari dari tanggung jawabnya. Ibunda menjelaskan bahwa kepergian Mudjib ke Soni waktu itu bukan kehendaknya, tetapi suatu panggilan tugas yang sifatnya terpaksa, dia dipanggil oleh Tentara untuk diangkat sebagai Kepala Kampung Soni.

Rupanya Andi Salihuddin tidak mau mengerti dengan alasan itu. Selanjutnya, ibunda mengatakan bagaimana Puang tidak mengakui, sedangkan Kepala Kampung Lantapan, Punggawa Galung, orang yang pernah mengolah lahan itu bahkan orang yang mengukur sawah itu, semuanya mengakui bahwa ada bagiannya Mudjib, iya, iya memang benar, kata Andi Salihuddin, tapi waktu itu masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh Mudjib yaitu membersihkan/menghilangkan pohon-pohon dan rumpun bambu di lahan itu, tetapi karena tidak dilaksanakan, maka saya ambil alih sesuai perjanjian yang disepakati sebelum menggarap areal itu. Ibunda mulai emosi, tetapi ia cepat sadar bahwa orang yang dihadapi ini bukan orang biasa, dia adalah Arung, Anak Raja, maka ibunda dan saya (Hasan) minta pamit pulang dengan rasa kecewa. Besok harinya kami berdua pulang ke Soni dengan numpang perahu Sandenya Pak Djohar.

Sesampai di Soni, ibunda menemui Mudjib lalu menceritakan hasil perjalanannya dalam rangka mencari kejelasan sawah miliknya. Saya sudah menemui beberapa orang yang dapat dipercaya, kata Ibunda Fathimah kepada anaknya Mudjib, dan mereka bersedia menandatangani surat ini sebagai tanda penyaksiannya atas kebenaran hakmu itu, seraya menyerahkan surat itu kepada Mudjib, Hanya saja Andi Salihuddin tidak mengakuinya dan tetap pada pendiriannya mengambil alih dan menguasai sawah itu dengan alasan Mudjib lari dari pekerjannya. Perlu diketahui bahwa bukan hanya Mudjib yang tidak memperoleh bagian, ada beberapa pekerja yang mengalami nasib yang sama dengan alasan yang sama pula.

Saat surat penyaksian tersebut diserahkan,ibunda berharap kepada Mudjib….kau bisa menuntutnya nanti, melalui pengadilan sekalipun, makanya surat ini pelihara baik-baik jangan sampai hilang atau rusak mangingat tanda tangan saksi-saksi itu sangat susah diperoleh, hampir satu hari berkeliling mencari orang-orang itu dengan jalan kaki.

Di samping karena Mudjib tidak banyak waktu untk mengurus haknya itu, di juga berpikir rasional bahwa yang akan dihadapi itu bukan orang awam, Andi Salihuddin Bantilan adalah Bangsawan, Penguasa dan punya pengaruh yang luas di Toli-toli. Bisa-bisa hanya rugi waktu, tenaga, dan biaya menuntutnya, belum tentu berhasil.

Dan sampai akhir hayatnya Abd. Mudjib tahun 1985 masalah itu tidak pernah digubris, tidak pernah diadukan dan dituntaskan sehingga lahan sawah hasil keringatnya di Lantapan kecamatan Galang diabaikan, bahakan sudah dianggap tidak pernah ada.

Surat penyaksian tersebut inilah yang kemudian oleh putranya Mudjib dijadikan dasar dan beranggapan bahwa Kavling / Kintal di Palu itu ada juga hak miliknya Bapaknya (Mudjib) karena kavling itu dibeli dari harga penjualan sawah di Lantapan sebagai pembagian dari hasil garapannya bersama Bapaknya ( La Ewang ). Dia ( putranya Mudjib ) tidak tahu bahwa Surat Penyaksian tersebut hanya sebatas penyaksian belaka dari orang-orang yang sempat ditemui, namun Andi Salihuddin Bantilan tetap pada pendiriannya tidak mengakui adanya bahagian Mudjib dari sawah itu.

Untuk bahagiannya La Ewang dari hasil olahannya sendiri, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ibunda putuskan lebih baik dijual saja, maka melalui kuasa Pamanda Abd. Razak Mahmud di Toli-toli, sawah itu berhasil terjual dengan harga satu juta rupiah, uang itulah yang kemudian digunakan membeli tanah kavling di Palu dengan ukuran 12 x 14 meter. Dan oleh Ibunda Fathimah dihibahkan sekaligus sebagai warisan kepada anaknya yang bernama Sitti Hadidjah La Ewang.

Dari alur cerita yang disusun secara kronologis ini, dapatlah disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) hal penting, sekaligus merupakan tujuan pokok dari tulisan ini, yaitu sebagai berikut:

1. La Ewang yang telah bekerja sesuai perjanjian berhak memperoleh ½ (separuh) dari hasil kerjanya.

2. Abd. Mudjib tidak memperoleh bagian dari hasil kerjanya karena tidak menepati perjanjian kerja.

3. Surat Penyaksian yang ibunda Fathimah serahkan kepada Mudjib itu adalah hanya sekedar pengakuan orang-orang yang mengetahui tentang adanya bagiannya Mudjib, tetapi Andi Salihuddin Bantilan tidak mengakuinya, bahkan telah mengambil alih semua lahan yang pernah digarap oleh Mudjib.

Berdasarkan poin 1 dan 2 di atas, dapatlah dipahami bahwa tanah persawahan di Lantapan itu adalah murni 100 % dari hasil kerjanya La Ewang sendiri, dengan kata lain tidak ada campur tangan dan hasil keringatnya Mudjib di dalamnya. Oleh karena itu tanah kavling di Palu sebagai hasil penjualan sawah tersebut, berarti juga murni 100 % miliknya La Ewang. Hanya karena pengaturan Ibunda Fathimah, maka kintal/kavling itu diberikan kepada Hadidjah sebagai warisan. .

Demikian keterangan ini sebagai data / informasi untuk meluruskan dan menghilangkan anggapan bahwa tanah kavling di Palu itu adalah hasil penjualan sawah yang digarap oleh La Ewang bersama Mudjib di Lantapan.

Kiranya anak cucunya La Ewang dapat memakluminya, khususnya ahli warisnya almarhum tercinta Abdul. Mudjib La Ewang. (Palu, 1 Januari 1996)

Selingkuh & Pencegahannya

Masalah Perselingkuhan akhir-akhir ini semakin marak dibicarakan dan banyak disorot oleh media cetak dan elektronik. Fenomena tersebut bukan hanya ditemui di kota-kota besar tetapi juga di daerah-daerah, bahkan tidak sedikit terjadi di pedesaan. Pelakunya tidak didominasi oleh kaum Adam, namun tidak ketinggalan juga dari kaum Hawa.

Selingkuh/ Berselingkuh dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, bermakna Tidak Jujur, Tidak Mau Berterus Terang. Namun istilah Selingkuh sekarang ini lebih khusus ditujukan kepada seseorang yang sudah berkeluarga yang sering bermesra-mesraan selain pasangannya, yang kalau dikalangan muda mudi dinamai ‘ Pacaran ‘

Dikatakan berselingkuh apabila seorang suami tertarik dan menjalin hubungan asmara dengan se orang wanita; atau seorang isteri tergoda atas bujuk rayu dari seorang laki-laki. Tetapi dalam pengakuannya tidak mau berterus terang kepada pasangan resminya.

Kalau pasangannya mendengar informasi tentang kedekatannya dengan seseorang, ia berusaha menutup-nutupi dan beralasan itu tidak benar, hanya gosif. Keakraban itu hanya sebatas karena ada hubungan kerja di kantor, atau ada hubungan bisnis, atau kebetulan se profesi.

Seseorang berselingkuh atau pergi ketempat pelacuran disebabkan beberapa factor, antara lain ;

1.Tidak ada kepuasan /keharmonisan dalam keluarga

2.Sering hidup berpisah dengan pasangannya

3.Adanya godaan dari teman sekerja / seprofesi

4.Mencari variasi dalam hubungan seksual

5.Isteri sering menolak ajakan suami

Kelima faktor tersebut tidak musti terakumulasi semuanya. Boleh jadi hanya salah satu di antaranya, si Suami / si Isteri bisa berselingkuh; misalnya isteri sering menolak ajakan suami dengan alasan yang dibuat-buat, atau isteri tidak pernah merasa puas atas keberadaan suaminya.

Jika masalahnya seperti itu, berarti mereka berselingkuh bukan untuk dikawini {Berpoligami} tetapi karena dorongan nafsu birahi sehingga tinggal mencari waktu dan tempat untuk melakukan Hubungan Gelap {Hugel} karena niat sudah ada. Mereka berani melakukannya karena tidak dihantui rasa takut dan tidak ada resiko bila wanita itu hamil karena ada suami resminya. Padahal sanksi dan dosanya jauh lebih berat daripada Hugel yang dilakukan oleh muda mudi yang pacaran. Hubungan seks yang dilakukan semasih pacaran, sanksinya hanya di Dera {dipukul}100 kali, lalu dibebaskan. Sedangkan bagi orang berselingkuh hukumannya harus di Rajam, yaitu ditanam berdiri di tanah sebatas dada, lalu dilempar batu sampai mati serta dipersaksikan kepada khalayak ramai. Untunglah Hukum Islam ini belum diperlakukan di Indonesia.

Walaupun banyak faktor yang menyebabkan seseorang berselingkuh, namun pada kesempatan ini hanya difokuskan pada faktor “Isteri sering menolak ajakan Suami” Penulis himbau kepada isteri-isteri, baik yang masih subur maupun yang sudah Menopause diharap tidak keberatan melayani kebutuhan biologis suami agar tidak berpikir mencari variasi dan kehangatan {Hot} ditempat lain sebab laki-laki tidak mengenal Menopause.

Khusus kepada isteri-isteri yang sudah menopause {tidak haid lagi} secara alami pada umumnya mereka bersikap Frigiditas {dingin} terhadap rangsangan suami dan frekuensi seksnya menurun drastis, namun harus tetap bersedia melayani suami sesuai jadwal yang telah di sepakati, kecuali ada alasan yang dapat dimaklumi. Ingat Hadist Nabi, Isteri yang tidak memenuhi kebutuhan birahi suami pada malam itu, akan dikutuk oleh Malaikat sampai pagi

Kalau sama-sama mau berarti itu adalah kebutuhan; tetapi kalau hanya suami yang mau lalu dilayani itu adalah pengabdian kepada suami.

Agar pasangan suami isteri tidak terjerumus dalam perselingkuhan yang tercela itu, maka pasangan yang bersangkutan harus mampu menumbuhkan 2 {dua} perasaan cinta; yaitu Cinta Birahi dan Cinta Kasih. Cinta Birahi adalah daya tarik suami terhadap isterinya, begitu juga sebaliknya, isteri tertarik kepada suaminya Daya tarik ini bersumber dari Libido {dorongan seksual }. Tapi cinta birahi ini akan menurun seiring bertambahnya usia perkawinan, terutama ketika isteri memasuki masa Menopause. Sedangkan Cinta Kasih tidak akan pudar walaupun umur sudah menua, tubuh melemah, kulit keriput, gigi sudah ompong, pendengaran tidak normal lagi; Cinta Kasih dan Kasih Sayang tetap utuh menyatukan pasangan suami isteri hingga akhir hayat.

Perawatan kedua perasaan Cinta tersebut sekaligus mencegah kekhawatiran akan menghilangnya pasangan, atau takut pasangannya berpaling mencari Wanita Idaman Lain {WIL} atau Pria Idaman Lain {PIL} alias “Pasangan tidak akan Berselingkuh” Semoga ! (Palu, 15 Oktober 2007)

Poligami Bukan Sekedar Solusi

Menyimak tulisan pada Koran SUARA SULTENG edisi Kamis, 30 Agustus 2007 halaman 15 dengan judul Wanita Bersedia Poligami Karena Kebutuhan Ekonomi. Dalam uraiannya ditekankan bahwa dari pihak perempuan, ‘Poligami lebih banyak dilatarbelakangi oleh kebutuhan ekonomi untuk dapat keluar dari kemiskinan ….. serta takut dicap sebagai Perawan Tua’

Fenomena seperti itu adalah benar adanya sehingga tidak susah mencari perempuan yang bersedia berpoligami sebagai isteri ke- 2, ke- 3 atau ke- 4. Yang sulit, bahkan mungkin tidak bakal menemukan ialah isteri yang mau dipoligami. Maunya hanya dia yang memiliki suaminya. Padahal Poligami bukan tindak kriminal bukan pula pelecehan dan penghinaan terhadap isteri. Tapi Poligami (Ta’addud zaujat) adalah sebuah fenomena nyata dan sistem yang sesuai etika dan moral semua agama serta kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan.

Hikmah Poligami pada hakekatnya lebih banyak tertuju kepada wanita ketimbang kepada laki-laki sebab dalam sistem poligami ada kemashlahatan bagi wanita secara umum karena mereka akan tetap terpelihara kemuliaannya dan akan memperoleh hak-haknya sebagai isteri resmi. Tapi kalau poligami dipersulit atau dilarang, akan banyak wanita yang terjerumus dalam perselingkuhan dan zina karena mereka ingin dicintai dan juga punya naluri seks, artinya pintu prostitusi, kumpul kebo, WTS/PSK akan terbuka lebar dimana mana. Akibatnya akan menghancurkan martabat wanita itu sendiri, menghilangkan hak-haknya dan anak yang dilahirkan akan dibunuh, kalau toh tetap hidup tidak dikenal siapa ayahnya serta tidak memperoleh hak warisan.

Perkawinan yang didambakan saat Ijab Qabul adalah beristeri satu dengan harapan dapat membentuk rumah tangga bahagia sejahtera (Sakinah). Namun dalam perjalanannya, situasi dan fenomena sosial berubah lalu muncul berbagai problema yang menghendaki suami ingin kawin lagi, misalnya isteri tidak dapat memberikan keturunan, isteri sakit yang susah disembuhkan, isteri tidak mau ikut di mana suaminya mendapat pekerjaan atau demi bisnis/karir isteri selalu bepergian meninggalkan suami. Mungkin juga suami tidak sabar menunggu hari-hari yang dilarang berhubungan pada masa haid dan nifas. Atau suami mempunyai kekuatan biologis lebih dari laki-laki lain (hyper sex) sehingga tidak puas kalau hanya dilayani satu isteri.

Faktor lain ialah mencari keharmonisan dan ketentraman. Tidak sedikit ditemui isteri cantik, kebutuhan materi memadai, namun tidak ada ketenangan dalam keluarga karena isteri tidak mau memposisikan suami sebagai kepala rumah tangga. Barangkali ia angkuh karena kecantikannya, kepintarannya, harta atau merasa ada tetesan darah ningratnya sehingga meremehkan suami. Suami terpaksa selalu mengalah atas kehendak isteri. Laksana kerbau dicucuk hidung, kemana diarahkan kesitu perginya.

Apabila pasangan suami isteri mengalami salah satu atau beberapa dari fenomena tersebut, maka poligami bukan lagi hanya sekadar alternatif atau solusi, tetapi sudah masuk dalam Hukum Taklify (Hukum Yang Lima). Dengan demikian poligami akan berstatus pada salah satu dari lima kepastian hukum, apakah wajib, haram, sunat, makruh,atau mubah, tergantung kondisi dan permasalahan pasangan yang besangkutan.

Kalau masalahnya sudah demikian adanya, lalu isteri introspeksi diri dan menyadarinya, maka alangkah bijaksananya bila isteri berlapang dada dan merelakan suaminya kawin secara resmi daripada ia terjerumus dalam perbuatan tercela dan dosa. Dan jangan minta ditalak sebab biasa terjadi yang karena emosinya dimadu minta ditalak, tapi di kemudian hari ia menyesal karena merasakan betapa repotnya membesarkan anak tanpa suami.

Walaupun poligami adalah hak bagi suami, tetapi tidaklah berarti Allah swt menyuruh semua laki-laki kawin 2, 3, 4 isteri (Q.S An Nisa : 3). Kebolehan itu hanya diberikan bila memenuhi syarat yang disyariatkan. Jangan berpoligami dengan alasan menjalankan syariat dan meneladani Nabi Muhammad tapi melalaikan kewajiban adil terhadap para isteri dan anak-anaknya.

Keadilan yang dimaksudkan di sini sifatnya relatif. Bukan berarti harus sama rata sama rasa dan tidak musti proporsional, yang penting kerelaan, kepuasan dan saling pengertian di antara isteri-isteri atas kemampuan ekonomi suami. Banyak wanita mau kawin bukan karena dilatarbelakangi oleh kebutuhan ekonomi semata. Yang diharapkan ialah perlindungan dan kasih sayang dari seorang laki-laki serta dapat memberikan keturunan. Apalgi isteri kedua, ketiga, atau keempat mempunyai pekerjaan atau penghasilan tetap (PNS atau Pengusaha) dan mungkin sudah punya kendaraan bermotor dan rumah sendiri sehingga tidak terlalu banyak mengharap dari suami (khususnya wanita yang menjelang usia kepala empat)

Tanggapan dari tulisan di SUARA SULTENG tadi jangan dimaknai mendorong semua laki-laki untuk kawin lebih dari satu (Poligami). Tulisan ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang mengalami permasalahan dalam persuamiisterian. Apalah artinya sebuah perkawinan kalau tidak ada kedamaian dan ketenteraman. Penyelesaiannya bukan hanya sekadar anjuran atau solusi seperti mengatasi fenomena sosial lainnya, tetapi barangkali sudah masuk dalam ruang lingkup “wajib hukumnya” poligami.

Sebaliknya, ketika merasa puas dan bahagia dengan satu isteri, mengapa harus kawin lagi. Tidakkah beristeri lebih dari satu dengan anak yang banyak tidak membuat pusing mengurus kebutuhnnya? Beristeri satu (Monogami) dengan jumlah anak ideal lebih memungkinkan mewujudkan keluarga sakinah serta mampu mempersiapkan keturunan yang berkualitas. Semoga! (Palu, 25 September 2007)

Mengenang 90 Tahun Tragedi Berdarah Salumpaga

Monumen Dari Ketiga Pahlawan Salumpaga Buol Toli Toli
Salumpaga adalah sebuah perkampungan yang terletak 70 km dari Tolitoli atau 500 km arah utara kota Palu. Di pemukiman ini pernah terjadi peristiwa berdarah ketika penduduk mengadakan perlawanan terhadap kekejaman Belanda. Tragedi tersebut terjadi di bulan Puasa 1339 H, yang pada bulan Ramadhan 1429 Hijeriah ini, pas 90 tahun.

Menurut Hi. Hasan Tawil, BBA ( 74 tahun ), mantan anggota DPRD Sulteng 1969- 1987 dan beberapa catatan tentang peristiwa Salumpaga, mengisahkan bahwa pada awal kekuasaan Belanda di Tolitoli 1915, ia memprioritaskan pembuatan jalan dari Nalu ke Kalangkangan sekitar 20 km dengan sistim “HEERENDIENST’ secara paksa tanpa menjamin makan dan minumnya, apalagi upah kerja.

Heerendienst ( Kerja Rodi ) diperlakukan secara bergilir kepada masyarakat dari setiap perkampungan selama 14 hari. Rakyat Salumpaga kena giliran menjelang bulan puasa dengan menunjuk 40 orang pekerja. Sesuai perhitungan, mereka akan bekerja sampai hari ke – 6 bulan Ramadhan. Oleh karena itu sebelum puasa, mereka menghadap kepada Raja Tolitoli, Haji Mohammad Ali Bantilan untuk bermohon kiranya pekerjaan bisa dilanjutkan setelah lebaran Idul Fitri. Raja menjawab, pergilah kepada Kontroleur penyampaikan keberatanmu, merekapun pergi ke kontroleur J.P.de Kat Angelino. Kontroleur mengatakan Heerendienst dibulan puasa bukan mauku, tapi maunya Rajamu sendiri. pergilah mengadu kepada Rajamu. Demikianlah mereka bolak balik minta keringanan tapi tidak diterima. Atas kejengkelan mereka, maka para pekerja rodi itu sepakat pulang ke Salumpaga dengan naik perahu.

Setiba di Salumpaga, mereka menghadap kepada Kepala Kampung ( Abd,Karim ) sekaligus minta perlindungan, namun justru Kepala Kampung marah dan bergegas berangkat menemui Marsaoleh Distrik Utara, Haji Muhammad Shaleh Bantilan di Santigi untuk melapor bahwa pekerja asal Salumpaga melarikan diri. Mendengar laporan Abd. Karim itu, Marsaoleh lalu menyampaikan kepada Raja Tolitoli Haji Muhammad Ali Bantilan di Nalu. Selanjutnya, Raja Tolitoli menghadap kepada Kontroleur Belanda J.P. Angelino. Saat itu pula mereka sepakat berangkat ke Salumpaga dengan naik perahu. Rombongan itu terdiri dari Kontroleur Angelino, Raja Ali Bantilan, Marsaoleh Shaleh Bantilan, Mantri Pajak Suatan, 5 Polisi dan 2 orang Opas Kerajaan

Sesampai di Salumpaga, Kontroleur memerintahkan Kepala Kampung untuk mengumpulkan para pekerja yang melarikan diri. Setelah semuanya berkumpul, lalu Kontroleur Angelino bertanya, kenapa anda melawan pemerintah dan melarikan diri ? Haji Hayun sebagai Imam Salumpaga yang ikut hadir menjawab “Mereka tidak melawan Pemerintah dan tidak pula lari dari pekerjaan” tetapi mereka pulang karena persediaan bahan makanannya habis dan akan melaksanakan Ibadah Puasa bersama keluarga. Kira nya Tuan Paduka dapat memakluminya. Adapun tugas pekerjaan yang 6 hari lagi dapat dilanjutkan usai lebaran. Permohonan itu tidak dikabulkan, bahkan memerintahkan segera ke Tolitoli melanjutkan kerja rodi.

Mereka diberangkatkan dengan jalan kaki dalam keadaan leher dan tangannya diikat satu sama lain dengan dikawal oleh 5 Polisi. Melihat perlakuan seperti itu, Haji Hayun meminta agar ikatan itu dilepas dan pekerjaan ditangguhkan sampai selesai puasa. Lagi-lagi Kontroleur Angelino menolak. Atas penolakannya, seketika itu juga Otto menebas batang leher Angelino hingga badan dan kepalanya terpisah, lalu berpaling memancung Manteri Pajak Suatan dan seorang Opas. Raja Haji Mohammad Ali Bantilan yang hendak melarikan diri, dapat dibunuh oleh Kampaeng. Adapun Marsaoleh Haji Mohammad Shaleh Bantilan dapat terhindar dari maut karena sempat bersembunyi di rumah penduduk.

Melihat kejadian itu, seorang Opas sempat berlari mengejar polisi yang mengawal 28 pekerja itu dan berteriak “Lepaskan Tembakan” Tuan Kontroleur sudah mati. Mendengar teriakan tersebut, polisi melepaskan tembakan ke udara. Sebelum tembakan kedua, pekerja serentak melepaskan ikatan ditangan dan dileher lalu merampas senjata nya dan dipukulkan padanya sampai ke-5 polisi itu mati. Peristiwa ini terjadi tgl. 5 Juni 1919 bertepatan 2 Ramadhan 1339, 90 tahun yang silam. ( Untuk dikenang, Pemerintah Belanda mendirikan TUGU setinggi 4 meter, tertulis nama Controleur J.P. de KAT ANGELINO tgl. 5 Juni 1919. Tugu ini masih dapat kita saksikan sekarang di Salumpaga)

Mendengar berita kematian Kontroleur, Asisten Residen Belanda Yunius yang berkedudukan di Donggala langsung berangkat ke Tolitoli bersama Raja Banawa, Lamarauna dan 12 serdadu dengan naik kapal Yansen.

Dari Tolitoli ke Salumpaga, rombongan diantar oleh Raja Muda Magelang ( Putra Raja Haji Muhammad Ali Bantilan ) untuk menangkap pemberontak. Karena mendengar informasi rakyat Salumpaga akan mengadakan perlawanan jika Belanda datang, maka Residen Yunius mengambil taktik, yaitu Raja Muda saja duluan mendarat dan memperlihatkan diri agar rakyat tidak berontak.

Dengan taktik strategis ini, akhirnya berhasil menangkap 28 orang. Pertama mereka di tawan di Tolitoli kemudian dipindahkan di beberapa penjara, Makassar, Manado dan Surabaya.

Berdasarkan keputusan Hakim Landraad Makassar tahun 1921, menetapkan Kombong, Otto dan Hasan dijatuhi Hukuman Gantung, Haji Hayun di vonis Seumur Hidup, 24 orang lainnya dengan hukuman penjara antara 5 – 20 tahun. Eksekusi hukuman gantung terhadap Kombong, Otto dan Hasan dilaksanakan 18 September 1922 di Manado, sedangkan Haji Hayun dan lainnya semuanya dipenjara di Pulau Nusa Kambangan Jawa Tengah.

Kebangkitan semangat perjuangan masyarakat Tolitoli, khusuanya masyarakat Salumpaga dalam menentang penjajahan Belanda adalah diilhami dengan kedatangan Tokoh S I ( Syarekat Islam ) Abd. Muis di Tolitoli tahun 1916.

Akibat kerusuhan tersebut, Pemerintah Belanda di Makassar mengutus Daeng Massese dari Kerajaan Bone untuk mendampingi Raja Muda Tolitoli Magelang Bantilan memulihkan keamanan, khususnya di Salumpaga. Dg. Massese ini dipertahankan sampai datangnya bangsa penjajah Jepang tahun 1942. Karena ia tidak mau tunduk kepada pemerintah Jepang akhirnya ia dibunuh.

Menyimak keberanian Haji Hayun memimpin pemberontakan Salumpaga menentang kekejaman penjajahan Belanda, maka sepatutnya Pemerintah Kabupaten Tolitoli mengusulkan Haji Hayun sebagai “Pahlawan Nasional” Pemberian nama untuk lapangan Bola Kaki Tolitoli dan beberapa nama ruas jalan di Sulteng, belum seimbang dengan penderitaan yang ia terima dari perjuangannya itu. Ia disiksa dan dipenjarah seumur hidup selama 25 tahun di tempat yang paling kejam Nusa Kambangan, kuburannya tidak diketahui dimana Batu Nizannya, Masya Allah ! (Palu, September 2008 M / Ramadhan 1429 H)

Maskawin & Nilai Ekonomisnya

Sekiranya Maskawin diartikan secara harfiah untuk MAHAR, maka dapat disepakati bahwa mahar dalam suatu perkawinan harus berbentuk EMAS atau materi yang bernilai ekonomis, bukan berupa Kitab Suci Al-Qur’an. Doeloe, Emas dijadikan sebagai mahar karena bernilai tinggi dan sangat berharga bagi manusia.

Dibeberapa daerah telah menjadi tradisi dalam suatu acara Akad Nikah disebutkan dengan mahar sebuah Kitab Suci Al-Qur’an dan seperangkat alat shalat. Al-Qur’an dijadikan sebagai mahar bermula ketika seorang pria terpesona kepada seorang wanita dan ingin sekali mempersuntingnya, tapi tidak punya harta. Karena nekat, lalu ia meng hadap kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi menanya, apa yang ada padamu untuk mahar ? Pemuda itu menjawab tidak ada ya Rasulullah ! Ada cincin besimu ? Tidak ada, Ada ayat – ayat Al-Qur’an yang kau hapal ? iya, Surah apa ? Al-Ikhlash! Kalau kau betul-betul mencintai dan akan setia kepada wanita itu, boleh menikahinya dengan mahar darimu sebuah Surah dari Al-Qur’an, kata Baginda Nabi, dengan harapan kau harus mengajarkannya kepada isterimu nanti. Lalu dinikahkan dia dengan gadis tersebut. Al-Qur’an. disini bukanlah dalam bentuk materi, tetapi hanya bersifat kecerdasan dan keterampilan menghapal Al-Qur.an Surah Al-Ikhlash karena waktu itu ayat-ayat Al- Qur’an belum dicetak dan belum dibukukan seperti sekarang.

Kalau ada yang memberi dan menerima mahar / maskawin di era kesetaraan jender ini, rasanya sudah tidak tepat lagi dan tidak punya arti apa-apa bagi isteri karena wanita muslimah pada umumnya sudah tahu baca tulis Al-Qur’an, bahkan tidak sedikit yang dapat menghapal sejumlah surah dan mengamalkannya. Anehnya lagi jika calon suami itu sendiri tidak / belum lancer membaca Al-Qur’an. Bagaimana mungkin mengajar isterinya.

Ada kesan nilai mahar diremehkan sehingga jarang terdengar suatu lamaran gagal karena pihak laki-laki tidak sanggup menyediakan. Yang sering terjadi ialah karena tingginya permintaan pihak wanita untuk biaya pesta perkawinan. Padahal, pesta perkawinan ( Walimatul Urs ) hanya sunat, sementara mahar wajib adanya meskipun tidak termasuk Rukun Nikah. Firman Allah “ Berikanlah Mahar kepada wanita sebagai pemberian ( wajib ) dengan penuh kerelaan “ ( Q.S. An-Nisa : 4 )

Isteri berhak menolak ajakan suami untuk berhubungan badan sebelum menerima maharnya walau sudah dinikahkan oleh walinya dan disaksikan oleh orang banyak. Mahar ini sangat diperlukan karena ada sesuatu yang terhormat pada diri setiap wanita dan sangat didambakan oleh semua laki-laki sebagai kebutuhan bilogis. Wajar jika sebelum menyerahkan kehormatannya itu, si laki-laki harus terlebih dahulu memberikan sesuatu yang berharga baginya sebagai symbol kesungguhan dan kesediaan memenuhi kebutuhan isteri.

Saat wanita dinikahkan, sejak itu pula tanggung jawab orang tua / wali berpindah kepada sang suami. Segala permasalahan terletak diatas pundak suami, baik kehormatan, keamanan maupun kesejahteraannya.

Adalah semua orang yang memasuki jenjang rumah tangga menghendaki kehidupan bahagia sejahtera, namun harus juga yakin dan percaya terhadap takdir yang tidak diinginkan. Banyak pasangan yang telah mengadakan ikatan / Ijab – Qabul, tetapi tidak sedikit yang terputus di awal atau di tengah perjalanan hidup mereka karena terjadinya perceraian, entah ditinggal mati oleh suami atau karena jatuh thalaq. Betapa samrautnya isteri yang sudah janda bila tidak ada atau belum sempat memperoleh harta semasih bersama suami. Terpaksa orang tua kembali menanggung kebutuhannya seperti sebelum kawin, bahkan semakin repot jika ada cucu dari hasil perkawinan mereka.

Masa Keemasan KB di Era Soeharto

Pak Soeharto bersama Bu Tien
Bangkitnya semangat Keluarga Berencana di Indonesia diawali dengan lahirnya ORDE BARU 1967. Semangat ini di ilhami setelah Pejabat Presiden Soeharto ikut menandatangani “Deklerasi PBB tentang Kependudukan” di Teheran bersama 20 Pemimpin Negara lainnya tahun 1967. Deklerasi tersebut berisi antara lain “…. masalah kependudukan harus diakui sebagai unsur prinsip dalam perencanaan pembangunan jangka panjang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat ……….”

Semangat itu diperkuat pula dengan melihat nasib anak bangsa yang menyedihkan karena Pemerintah Orde Lama yang Pro Natalis tidak setuju dengan pembatasan kelahiran. Presiden Soekarno berobsesi, Bangsa Indonesia tidak perlu dibatasi pertumbuhannya karena tanahnya sangat luas, justru penduduk harus diperbanyak agar ada yang menggarapnya. Dengan prinsip demikian, maka ciri-ciri kependudukan saat itu adalah jumlah penduduk besar, pertumbuhannya tinggi, penyebaran tidak merata, kualitas yang rendah.dan kemiskinan merajalela.

Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Deklerasi PBB serta melihat ciri-ciri kependudukan tersebut, maka dibentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) tahun 1969 sebagai upaya untuk menekan angka kelahiran. LKBN yang Semi Pemerintah itu lalu ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen melalui Keputusan Presiden ( Keppres ) No. 8 tahun 1970 tentang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) dengan tugas menjalankan koordinasi dan integrasi terhadap pelaksanaan program nasional secara terpadu.

Atas dasar Keppres inilah Program KB mulai digalakkan dengan mengkoordinasi kan dengan Instansi Pemerintah, Swasta dan Institusi Masyarakat serta memperkuat komitmen politis sampai ketingkat desa dengan target menurunkan angka kelahiran 50 % pada tahun 1990 dibandingkan dengan keadaan 1970.

Sosialisasi Pelembagaan Program KB memang berat sebab menyangkut berbagai aspek perobahan nilai, sosial, pola pikir, prilaku, juga aspek keyakinan agama. Untuk itu, Pemerintah dengan semangat Orde Baru secara bijak mengajak semua elemen masyara kat, termasuk Tokoh Agama untuk meningkatkan taraf hidupnya melalui pembangunan diberbagai bidang, antara lain Keluarga Berencana ( KB ).Tokoh Agma diajak menggali ajaran agamanya untuk selanjutnya menuntun pengikutnya bagaimana cara membangun keluarga sejahtera melalui pintu dan bahasa agama. Seiring dengan upaya pelembagaan ide KB ini, diusahakan pula penyediaan dana dan sarana yang mendukung program itu, baik dari APBN maupun bantuan luar negeri.

Presiden Soeharto yang Anti Natalis selalu mengingatkan bahwa Pembangunan yang kita laksanakan sekarang, tidak akan mempunyai arti bagi anak cucu kita bila tidak dibarengi dengan pengendalian dan penurunan tingkat kelahiran.

Demikianlah, dari tahun ke tahun, Pelita ke Pelita, gerakan KB semakin meluas dan memasyarakat ke pelosok tanah air, sampai ketingkat Dusun /RT terpencil sekalipun. Semuanya mengenal KB dan bersedia menjadi akseptor lestari secara mandiri karena merasa sudah menjadi kebutuhan mereka.

Komitmen politis mencapai klimaksnya ketika keluarnya UU No.10 /1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Kalau pada mula nya KB diartikan hanya pemakaian alat kontrasepsi untuk mengatur kehamilan, maka dengan UU No. 10 tersbut, definisi KB diperluas; yaitu Upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui Pendewasaan Usia Perkawinan, Pengaturan klahiran, Pembinaan ketahanan keluarga dan Peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera.

Dengan ruang lingkup yang demikian luas, maka kegiatannya juga diperbanyak melalui pemberdayaan keluarga, antara lain pembentukan dan pembinaan kelompok UPPKS ( Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera ) dengan kegiatan ekonomi produktif. Sasarannya adalah ibu-ibu rumah tangga peserta KB yang tergolong Pra KS dan KS I dengan pemberian modal dari BUMN ( BNI, PLN, Indosat dan lain-lain ). Disamping itu, dikembangkan juga kegiatan BKB, BKR, BKL ( Bina Keluarga Balita, Remaja dan Lansia ) serta berbagai kegiatan lainnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Program ini berjalan baik dan berhasil ketika Prof. DR. Haryono Suyono diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Negara Kependudukan / Kepala BKKBN.

Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari tingginya kesertaan ber KB dan mengecil nya jumlah anak yang dilahirkan setiap keluarga. Seandainya tidak ada KB, penduduk Indonesia diperkirakan 280 juta jiwa tahun 2000, namun ternyata hanya 206 juta, berarti berhasil menekan kelahiran sebanyak 74 juta jiwa, suatu jumlah yang tidak kecil.

Atas keberhasilan Program KB dan Sektor Pembangunan lainnya, Presiden Soeharto selama 32 tahun pemerintahannya, beberapa kali memperoleh penghargaan dari PBB, ASEAN serta Negara – Negara Asia. Dan Indonesia dipercaya menjadi Model Pembangunan KB bagi Negara-Negara ber kembang, sekaligus sebagai Pusat Pelatihan Internasional dibidang Kependudukan, KB dan Kesehatan Reproduksi.

Gerakan KB melemah di Era Reformasi

Tuntutan Reformasi yang memaksa Soeharto mundur sebagai Presiden 1998, turut melumpuhkan gerakan KB. Visi Misi NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtra) dengan 2 anak cukup diprotes oleh kaum Reformis dengan dalih melanggar Hak Azasi Manusia ( HAM ). Pengelola dan Pelaksana KB di tingkat Pusat dan Daerah mulai gelisah dan prihatin. Puncak Keprihatinan ketika terbit Keppres No. 103 tahun 2001 tentang Tugas dan Kewenangan Lembaga Pemerintan Non Departemen. Salah satu pasal nya ditegaskan bahwa sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BKKBN akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah selambat-lambatnya 31 Desember 2003.

Desentralisasi Kewenangan dan Penyerahan P 3 D ( Personil, Pembiayaan. Peralatan dan Dokumen ) BKKBN banyak sekali kelemahannya karena tidak di iringi dengan pembentukan Kelembagaan KB yang utuh. Kalaupun ada, Nomenklaturnya Merger dengan Unit yang sudah ada, baik dalam bentuk Dinas, Badan maupun Kantor. Yang lebih parah lagi ialah pengalihan jenis kepegawaian BKKBN dari PNS Pusat menjadi PNS Daerah. Hal ini memberi peluang Pemerintah Kabupaten / Kota menyebar Personil Fungsional PKB yang sudah Professional menjadi tenaga Struktural. Ada jadi Camat, Sekcam, Kasubdin, Kasi, Kaur dan tidak sedikit yng dialih tugaskan ke dinas lain sebagai staf biasa. Akibatnya, Penyuluh KB yng membina Institusi Masyarakat Pedesaan semakin berkurang, sehingga pelaksanaan KB pasca penyerahan praktis menurun drastis. Angka pertumbuhan penduduk kembali meningkat tajam ditandai dengan tingginya TFR ( Total Fertility Rate ) yaitu rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu selama masa suburnya.

TFR di akhir Orde Baru berkisar antara 2,7 – 2,2, dan sudah mengarah kepada Penduduk Tumbuh Seimbang. Namun, baru 10 tahun pemerintahan Reformasi sudah meningkat lagi menjadi 3,2, berarti setiap keluarga mempunyai anak lebih dari 3 orang. Tidak mustahil akan kembali seperti di masa Orde Lama dengan TFR 5, 6, suatu fenomena yang mengkhawatirkan akan terjadinya “Ledakan Penduduk dan Kemiskinan”

Kiranya Pemerintah di alam Demokrasi dan Otonomi Daerah ini menaruh perhatian serius untuk mengembalikan Citra dan Ke Emasan KB sebagaimana pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto. “Selamat Jalan Pak Harto” semoga Arwahnya mendapat tempat yang di Ridhahi oleh Allah, SWT. (Palu, 04 Februari 2008)

Korupsi & Dampak Psikologisnya Terhadap Keluarga

Salah satu program yang dipertaruhkan Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) saat kampanye calon Presiden 2004 ialah Pemberantasan Korupsi. Kini sudah 3 tahun pemerintahan SBY, tapi belum juga ada tanda-tanda yang menggembirakan. Sudah ada Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berbagai Institusi / Aliansi yang dibentuk untuk memberantas korupsi, namun korupsi tetap merajalela menggorogoti hampir semua instansi dan institusi dari tingkat pusat sampai kepedesaan, tidak terkecuali Departemen / Instansi yang mengemban Misi kejujuran dan kebenaran Ilahiyah, bahkan dikalangan Akademisi yang semestinya mengabdi untuk membentuk SDM yang berkualitas; juga tidak luput dari korupsi.

Dari fenomena tersebut, timbul pertanyaan, apa yang salah di negeri yang tercinta ini ? Ada kesan, Tatanan Kenegaraan, Peraturan Perundang-undangan, Sistem Pengawasan dan Penegakan Supermasi Hukum di Indonesia menjadikan rawan tindak korupsi.

Peraturan Perundang-undangan (PP, Kepres, Inpres, Permen, Kepmen dll) sebagai acuan untuk menelorkan produk hukum, justru memberi peluang berkorupsi, baik dipihak Legislatif maupun Eksekutif.

Seseorang yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di DPRD tidak ada niat untuk mengambil yang bukan haknya. Tetapi ternyata setelah duduk di kursi empuk di lembaga terhormat itu, mereka melihat Peraturan Perundang-undanan yang memberi kewenangan untuk menetapkan berbagai Produk Hukum berupa Peraturan Daerah, termasuk penetapan Perda tentang APBD / Pengelolaan Keuangan Negara (DAU, DAK)

Dengan dasar Peraturan Daerah (Perda) bikinan sendiri, memudahkan mereka menjarah uang rakyat secara berjamaah. Demikian juga seseorang yang mengejar jabatan karir atau jabatan politik tidak ada rencana akan menyalah gunakan wewenang untuk memperkaya diri, namun ternyata setelah menduduki jabatan itu, justru menjadi pintu gerbang ketindak pidana korupsi karena ada segi-segi yang memungkinkan untuk mengeluarkan kebijakan terhadap penggunaan anggaran pada instansi yang dipimpinnya sehingga dalam waktu relatif singkat kekayaannya bertambah secara drastis.

Sistim pengawasan juga memberi peluang melakukan korupsi sebab Instansi pengawasan {Inspektorat / Bawasda) tidak bisa bertindak tegas atas hasil audit / temuannya karena ia termasuk salah satu SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Otonomi yang taktis operasionalnya langsung berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah ( Gubernur, Bupati / Wali Kota ).

Dan yang paling mengecewakan masyarakat, ialah sistim peradilan. Banyak koruptor yang telah di Vonis Hukuman Penjara pada Tingkat Pengadilan Negeri karena memang terbukti perbuatannya, tapi kenapa diberi kesempatan naik Banding sampai ketingkat Kasasi.

Pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi dan Kasasi di Mahkamah Agung, disinilah para Koruptor terpidana itu menempuh berbagai cara, baik melalui jalur politik maupun calo-calo hukum alias Mafia Peradilan. Mereka berusaha sekuat tenaga dan bersedia berkorban habis-habisan, bukan hanya uang hasil korupsinya dihabiskan, malah lebih dari itu asal ia dapat Diputus Bebas dan tidak dipenjara. Ini semua yang menjadikan orang tidak takut berkorupsi.

Siapapun jadi presiden, kalau Peraturan Perundang-undangan dan Sistim Pengawasan tidak diperbaiki serta Sanksi Hukum tidak diperketat dan tidak diperberat, maka korupsi tidak akan dapat diberantas, dan Indonesia tetap pada pringkat atas dalam hal korupsi, walaupun ada BPK ( Badan Pemeriksa Keuangan ) sebagai Lembaga Tinggi Negara.

Dampak Psikologis terhadap Keluarga.

Koruptor yang dijatuhi hukuman penjara pada tingkat pertama tapi tidak mampu mebiayai pengadilan dan tidak tersedia dana membayar pengacara ketingkat banding dan kasasi, terpaksa menerima putusan itu dan harus dieksekusi masuk penjara dengan perasaan malu yang luar biasa. Sejak itu, ia akan merasakan penderitaan lahir batin sepanjang masa, baik selama dalam penjara maupun setelah bebas. Di dalam penjara ia tersiksa karena menjalani sanksi hukum, setelah keluar ia menerima sanksi sosial dari masyarakat. Kekejaman sanksi sosial tidak ada batas waktunya sekian tahun, bisa jadi seumur hidup. Beda dengan orang yang dipenjara karena membunuh demi mempertahankan kehormatan dan harga diri, dalam penjara ia ditakuti sesama nara pidana dan setelah bebas disegani masyarakat.

Tapi Koruptor, walaupun ia sudah dilepas dari penjara, namun ia tetap merasa tersisih dan terbatas dalam intraksi sosial. Harga diri, kewibawaan dan makna hidup terasa tidak ada lagi, sudah Matisuri. “ Hidup Segan, Mati Tak Mau.” Orang Bugis bilang “ Mate Lebo Tana “ Demikian juga terhadap keluarga dan kerabat, akan memberi dampak psikologis yang besar.

Isteri yang pernah menikmati hasil korupsi suaminya terpaksa juga turut menanggung beban moral. Dulunya ceria, penuh percaya diri tampil mengikuti semua kegiatan kemasyarakatan, kini menjadi hilang semangat dan martabatnya serta tersisih dari pergaulan. Begitu juga anak-anak mereka, akan merasa malu beradaptasi dengan teman-temannya, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Akibatnya, akan mempengaruhi prestasi dan minat belajar, bahkan boleh jadi mereka putus sekolah dan lari keperbuatan yang tidak diinginkan ( Narkoba, Miras dll ). Kalau toh, anak itu berhasil dalam pendidikan, mereka akan terhambat lagi memperoleh kesempatan untuk menempati posisi strategis karena orang tuanya tercoreng sebagai bekas nara pidana korupsi. Camkan ! Jangan sampai masa depan anak-anak kita menjadi suram tidak menentu gara-gara perbuatan orang tuanya. Mereka dilahirkan untuk kebanggaan orang tua dan keluarga. (Palu, 1 Desember 2007)

Sabtu, 09 Agustus 2014

Ka’bah, Qiblat Umat Islam

Masjid Qiblatain
Perpindahan Qiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram merupakan peristiwa penting dan mempunyai kisah unik dalam sejarah Islam, sebab sejak setelah Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad ketika shalat selalu menghadap ke arah Masjidil Aqsha di Palestina, baik semasih di Mekkah maupun setelah hijrah ke Madinah.

Perpindahan tersebut bermula sewaktu penganut agama Yahudi cemburu dan cemas melihat perkembangan Islam dan merasa terancam eksistensi keberadaannya di Madinah. Atas kekhawatiran itu, lalu mereka mencoba membujuk Nabi Muhammad agar mau meninggalkan Madinah. Orang Yahudi mengatakan “Baitul Maqdis di Yerusalem Palestina adalah Kota Suci yang disediakan Tuhan bagi Nabi dan Rasul-RasulNya. Anda sebagai Nabi, seharusnya tinggal menetap di Kota Suci itu sebagaimana Nabi dan Rasul-Rasul terdahulu.”

Bagaimana respon Rasulullah? Jangankan pindah secara fisik ke Palestina, menghadapkan wajah saja tidak dilakukan. Sikap Baginda Nabi ini didasari dengan turunnya ayat “Sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Qiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dimana pun kamu berada.” (QS. Al Baqarah : 144). Peristiwa ini terjadi tahun 623 M / 2 H ketika Nabi Muhammad sedang Shalat Dhuhur. Saat itu pula beliau langsung merubah posisi dari arah Baitul Maqdis Palestina ke arah Baitullah di Mekkah.

Tempat Baginda shalat itu bernama masjid “Al- Ahzab” namun kemudian diberi nama masjid “Qiblatain”, artinya Dua Qiblat. Masjid ini sangat terkenal dan dijadikan salah satu objek Ziarah di Madinah bagi jamaah setiap musim haji.

Mengapa harus menghadap ke Masjidil Haram? Karena di sana ada Ka’bah sebagai bangunan pertama-tama di permukaan bumi ini. Dalam Al Qur’an disebutkan “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) bagi manusia, ialah Baitullah (Ka’bah) di Mekah” (QS. Ali ‘Imran : 96). “Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia.” (QS. Al Maa’idah : 97).

Ka’bah buat pertama kali dibangun oleh Malaikat, dipelihara oleh Nabi Adam, Nabi Ibrahim dan Nabi-Nabi yang lain sampai pada Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya direhab dan direnovasi oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Tipenya berbentuk Kubus dengan tinggi 15 meter dari tanah, lebar dari sudut ke pojok sekitar 10 meter. Bangunannya sangat sederhana, hanya karena ditutupi dengan Kiswah sehingga nampak indah dan mengagumkan, bahkan bisa mencucurkan air mata bagi orang yang memandangnya dari jarak dekat. Kiswah itu terbuat dari sutra murni yang diberi warna hitam dengan hiasan kaligrafi huruf timbul warna kuning. Kiswah tersebut diganti setiap tanggal 9 Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di ‘Arafah.

Pintunya yang berukuran 3,10 X 1,90 meter, dilapisi dengan ornamen-ornamen kaligrafi ayat-ayat Al Qur’an dari emas murni seberat 280 kg. Di depan pintu Ka’bah inilah Imam berdiri memimpin shalat untuk seluruh jamaah yang ada di Masjidil Haram. Pada bagian atapnya di pasangi Talang untuk mengalirkan air ketika pencucian Ka’bah sebelum pemasangan Kiswah baru, demikian juga bila hujan turun. Talang sepanjang 2,50 meter itu dilapisi emas sehingga sering disebut Talang Emas (Jompi Ulaweng).

Pada bagian lain, terdapat Hajarul Aswad. Hajarul Aswad adalah batu hitam yang tertanam di sudut Ka’bah pada ketinggian 1,10 meter dari lantai. Mencium Hajarul Aswad ketika thawaf tidak termasuk rukun / wajib haji, artinya tanpa menciumnya, ibadah haji tetap sah. Adapun ruangan dalam Ka’bah, isinya adalah barang-barang berharga peninggalan purbakala sebelum dan sesudah Islam.

Sekitar 10 meter dari Ka’bah terdapat sumber Air Zamzam. Sumur ini berkedalaman 30 meter, 13 meter ke mata air dan 17 meter dari mata air ke dasar sumur dengan diameter 2,50. Dari mata air itu bisa mengeluarkan 40.000 liter / jam dan mampu memenuhi kebutuhan air zam-zam bagi jutaan jamaah pada musim haji.

Arah Qiblat umat Islam seluruh dunia adalah Ka’bah. Hal ini lebih jelas tatkala kita berada di Masjidil Haram. Dari empat penjuru masjid, semua orang menghadap ke arah Ka’bah yang terletak di tengah-tengah Masjidil Haram. Berdasarkan peta satelit di Kanwil Depag Sulteng, arah Ka’bah di Indonesia, khususnya di kota Palu berada pada posisi 21,85 derajat dari barat ke utara.

Menghadap Ka’bah bukan hanya saat melaksanakan shalat, tetapi juga disunatkan ketika berdoa, menyembelih binatang, menguburkan mayat, dan upacara keagamaan lainnya. Sebaliknya, ketika buang air besar / kecil atau meludah dianjurkan tidak menghadap Ka’bah sebagai penghormatan. Untuk itu, bila kita akan membuat Toilet / WC hendaknya memperhatikan letak closednya supaya orang yang buang air besar/kecil tidak menghadap atau membelakangi Ka’bah, sebab sewaktu kita berak atau kencing bukan hanya muka menghadap Ka’bah, tetapi organ tubuh tempat keluarnya najis/ kotoran itu juga menghadap Ka’bah, sedangkan Ka’bah itu suci.

Menghadap ke Baitullah sewaktu shalat atau kegiatan keagamaan lainnya bukan berarti menyembah batu / bangunan Ka’bah, tetapi hikmah diperintahkan berqiblat ke Ka’bah ialah bahwa dengan kesatuan arah ini diharapkan terwujudnya persatuan dalam menciptakan persaudaraan dan perdamaian Islam sedunia.

Perbedaan pendapat adalah rahmat, jangan hanya karena berbeda kepentingan dan pemahaman terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an lalu terjadi bentrok fisik yang berdampak pada malapetaka yang merugikan diri sendiri. Arah peribadatan kita kepada Allah SWT hanya “SATU QIBLAT” yaitu “KA’BAH” yang ada di tanah suci Mekkah. (Palu, 1 Juli 2008)

Jangan Menunggu Panggilan ke Baitullah

Ibadah Haji merupakan Rukun Islam yang kelima dan wajib hukumnya bagi yang mampu. Walaupun ia urutan kelima, bukanlah berarti rukun-rukun sebelumnya harus disempurnakan terlebih dahulu. Mungkin saja shalatnya belum kontinyu, zakatnya belum konsisten, puasanya belum maksimal atau masih sering berbuat dosa, tapi ketika sudah punya kemampuan, maka ia wajib menunaikan Ibadah Haji dengan harapan semoga sekembali dari Tanah Suci ia dapat melaksanakan Syariat Islam secara “Kaffah” (Paripurna). Dalam Al-Qur’an disebutkan “Allah mewajibkan manusia mengerjakan haji bagi yang mampu dan sanggup pergi ke Baitullah” (Ali Imran : 97).

Ukuran mampu disini ialah mampu secara fisik dan materi. Mampu fisik artinya harus berbadan sehat dan kuat sehingga dapat mengerjakan semua amalan haji dengan baik. Sedangkan mampu materi yaitu sanggup membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), ada belanja untuk keluarga yang ditinggalkan dan masih ada biaya hidup setelah kembali dari Tanah Suci.

Yang disayangkan selama ini ialah adanya anggapan bahwa orang menunaikan ibadah haji setelah mendapat panggilan dari Allah SWT. Makanya banyak kita temui orang mampu fisik dan materi, tapi belum juga ke Tanah Suci. Kalau ditanya, kenapa belum pergi haji ? “belum ada panggilan”. Padahal panggilan untuk berhaji sudah diseruhkan 5000 tahun yang lalu, 3000 tahun sebelum Masehi atau sekitar 2430 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Al-Kisah, ketika Nabi Ibrahim AS usai merehab dan merenovasi bangunan Ka’bah diseputar Baitullah, Allah memerintahkan agar memanggil anak cucu Adam untuk berhaji. Nabi Ibrahim berkata : “Bagaimana mungkin suaraku ini bisa didengar” Allah menjawab, Kau cukup berseruh kepada mereka, didengar atau tidak, dipenuhi atau tidak, itu adalah urusanKu. Maka naiklah Nabi Ibrahim ke Jabal / bukit Abu Qubais lalu berseruh, Hai sekalian Manusia, sesungguhnya Allah telah mendirikan Rumah (Baitullah) di Mekkah , datanglah kesini untuk berhaji. Kisah ini dapat disimak dalam Al-Qur’an (Wahai Ibrahim) “Umumkanlah kepada semua manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang berkunjung dari berbagai penjuru yang jauh, baik berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan” (Q.S. Al-Haj : 27).

Panggilan tersebut diperbaharui oleh Nabi Muhammad, diteruskan oleh Sahabat- Sahabatnya, disebarluaskan oleh para Ulama dan Muballigh sampai keseluruh penjuru dunia, termasuk di Lembah Palu ini. Tapi seruan Nabi Ibrahim tersebut baru sampai disini sekitar 300 tahun yang silam, yaitu sejak masuknya Agama Islam di Sulawesi Tengah pada abad ke-17 Masehi. Jadi tidak benar kalau dikatakan belum ada panggilan. Barangkali yang tepat ialah belum ditaqdirkan memenuhi panggilan haji.

Memang, berkunjung ke Tanah Suci adalah salah satu taqdir Allah SWT. Banyak diantara kita punya kemampuan fisik dan ekonomi, sudah ada nomor porsinya, bahkan sudah lunas ONHnya, tetapi sesuatu dan lain hal ternyata keberangkatannya batal. Sebaliknya, ada orang yang penghasilannya sedikit, tanggungan keluarga banyak, namun ia dapat memenuhi panggilan Nabi Ibrahim, karena ia berusaha. Jadi, taqdir atau kehendak Allah ada diujung usaha manusia. Allah Maha Adil, Dia akan memberikan sesuatu kepada hambaNya sesuai dengan kadar ikhtiarnya

Sebenarnya, orang yang mempunyai pekerjaan tetap dan berpenghasilan lebih dari cukup, atau penghasilan diatas kebutuhan minimum, semuanya tergolong orang mampu menunaikan Ibadah Haji, yang penting ada “NIAT”.

Niat adalah kehendak hati yang ditetapkan oleh otak, kemudian memberi motivasi berusaha keras untuk mencapainya. Oleh karena itu ketika memasang Niat untuk berhaji, janganlah hendaknya bercampur dengan kepentingan duniawi, misalnya ingin memperoleh Predikat Haji (Pak Haji / Ibu Hajah) atau mau ditempatkan pada posisi diatas dari orang yang bukan haji. Niat harus semata-mata untuk menyahuti panggilan dari Yang Maha Agung, Allah,SWT. “Labbaika Hajjan, Labbaikallahumma” (Ku sambut panggilan Mu untuk berhaji, ku sambut panggilan Mu ya Allah). Kita dipanggil untuk memperoleh “Upah Pahala”, bukan Setoran Upeti. Adakah kemauan di hati untuk bersimpuh di Masjidil Haram yang nilai pahalanya 100.000 (seratus ribu) kali dibanding di masjid lain???

Memang, kalau belum berniat apalagi masih berprinsip menunggu panggilan, maka penghasilan yang lebih dari cukup itu tidak akan terkumpul dana sejumlah yang diperlukan dalam Ibadah Haji karena dihabiskan untuk keperluan yang belum mendesak, seperti; Sudah punya rumah yang layak huni, tapi ia rehab dan diperbesar lagi, sudah ada kendaraan bermotor roda dua / empat, ia ganti dan ditambah lagi dan lain-lain selera yang tidak prioritas. Kalau ditanya, Kapan ke Tanah Suci ? Belum ada Panggilan, suatu jawaban yang tidak diredhai Allah, sebab seakan-akan Tuhan yang disalahkan kenapa belum dipanggil.

Kalau sudah memasang niat yang bulat, dibarengi dengan menyisihkan sebagian rezki yang diberikan Allah sebagai Tabungan Haji, Insya Allah dalam waktu 5 – 10 tahun kedepan kita akan memenuhi panggilan haji. Bahkan mungkin ada yang lebih cepat, itu lebih bagus sebab faktor usia perlu juga diperhitungkan. Idealnya pada umur sebelum 60 tahun. karena haji adalah ibadah fisik. Hampir 100 % dilakukan oleh anggota badan. Mulai berangkat dari tempat tinggal dengan menempuh perjalanan jauh, Tawaf mengelilingi Ka’bah, mencium Hajarul Aswad, Sa’i antara Shafa – Marwah, Wukuf di Arafah, Nginap di Musdalifah, melempar jumrah di Mina, Shalat Arbain di Madinah dan lain-lain. Demikian juga ziarah untuk menyaksikan tempat-tempat bersejarah, semuanya memerlukan tenaga fisik yang sehat dan kuat agar pelaksanaan ibadah haji terasa sempurna dan memuaskan.

Apabila sudah diniatkan karena Allah semata, menyusun perencanaan dan gemar menabung untuk ONH, tapi sesuatu dan lain hal yang menyebabkan tidak ditaqdirkan berangkat ke Tanah Suci hingga akhir hayat, maka yakinlah bahwa Allah SWT akan memberikan pahala seperti orang yang melaksanakan Haji di Mekkah yang balasannya tidak lain kecuali “Sorga“ Insya Allah! (Palu, 01 Januari 2008)

Senin, 04 Agustus 2014

Gerakan Pengacau Keamanan DI/TII dan Permesta

Kahar Muzakkar
Pemberontakan yang bertujuan mendirikan Negara/Darul Islam {DI} dengan kekuatan Tentara Islam Indonesia {TII} di wilayah Distrik Dampal Tolitoli Sulawesi Tengah tahun 1957 merupakan ekspansif dari gerakan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Abdul Kahar Muzakkar memproklamirkan gerakannya itu karena ada rasa kekecewaan terhadap Pemerintah Pusat.

Al-Kissah; Sebelum Kahar Muzakkar diutus ke Sulawesi Selatan sebagai tanah kelahirannya, terlebih dahulu dimandatir oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk membentuk TRIPS [Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi} dengan tujuan untuk membantu TNI meningkatkan perlawanan bersenjata terhadap Tentara NICA di Sulawesi Selatan.

NICA (Nederlands Indische Civiel Administratie) bermaksud hendak mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Dalam pembentukan TRIPS itu, Kahar Muzakkar sendiri ditunjuk sebagai komandan dan Andi Mattalatta sebagai wakilnya. Setelah itu lalu diperintahkan segera berangkat ke Sulawesi Selatan. Tapi pengiriman pasukan pada expedisi pertama ini, Kahar Muzakkar belum bersedia berangkat karena ada kasusnya dengan Pemerintahan Adat di Kerajaan Luwu Palopo. Untuk itu, hanya Andi Mattalatta bersama sejumlah pasukannya yang berangkat pada pertengahan Desember 1946. Nanti pada expedisi ketiga barulah Kahar Muzakkar ke Sulawesi Selatan.

Sebelum meninggalkan Pulau Jawa, taktik dan strateginya sudah disusun bersama Soetomo {Bung Tomo}. Salah satu missinya ialah mengkikis habis Politik Devide Et Impera Belanda {Politik Pecah Belah}. Dan Kahar Muzakkar berjanji kepada Bung Tomo akan terus menerus mengirim laporan perkembangan perjuangannya di Sulawesi serta mengharap kiranya Bung Tomo dapat membantu bila menghadapi masalah berat melalui saluran politik Pusat Pemerintahan Jakarta, demikian kesepakatan antara Kahar Muzakkar dengan Bung Tomo.

Namun, betapa terkejutnya Bung Tomo ketika mendengar berita bahwa Kahar Muzakkar berbalik melawan tentara resmi Indonesia dengan cara bergerliya di hutan-hutan. Tindakan Kahar Muzakkar tersebut karena merasa diperlakukan tidak adil dalam reformasi pasukan Angktan Bersenjata di Sulawesi. Kahar Muzakkar dan anak buahnya diberi kedudukan dan pangkat yang dirasa tidak sesuai dengan jasa dan pengalamannya dalam perjuangan melawan Belanda di Pulau Jawa.

Sebenarnya, Kahar Muzakkar pada mulanya tidak pernah berpikir menggunakan Islam sebagai identitas gerakannya. Nanti mereka terdesak atas serangan TNI, lalu ia teringat bahwa penduduk Sulawesi Selatan mayoritas beragama Islam yang panatik, pemberani dan rela berjihad bila agamanya tersinggung. Maka muncullah hasrat memanfaatkan Islam sebagai alat perjuangannya. Lalu diproklamirkanlah bahawa missi dan cita-cita perjuangannya adalah hendak Mewujudkan Negara Islam/Darul Islam {DI} dengan kekuatan Tentara Islam Indonesia {TII}.

Setelah Kahar Muzakkar mempermaklumkan dirinya sebagai pejuang untuk membentuk Negara Islam, maka secara spontan masyarakat Sulawesi Selatan banyak yang menggabungkan diri bergerilya di hutan-hutan melawan tentara resmi {TNI}. Akibatnya tidak sedikit yang menderita kekurangan bahan makanan karena tidak sempat lagi mengolah lahan persawahan, perkebunan dan perdagangan mereka.

Kahar Muzakkar semakin teguh pendirian dan perjuangannya setelah melihat Presiden RI (Ir. Soekarno) pro komunis, sehingga pada suatu waktu ia mengirim utusan ke Jakarta untuk menyampaikan bahwa ia tidak mau tahu lagi dengan Pemerintah Pusat. Ia menganggap sudah terlalu banyak memberikan hati kepada komunis dan kebijaksanaannya sangat menguntungkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Gerakan DI/TII dapat dilumpuhkan setelah pimpinannya (Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Bung Rasyid di Sulawesi Tengah) berhasil ditembak mati dalam operasi militer tahun 1963.

PERMESTA (Perjuangan Semesta)

Gerakan Perjuangan Semesta lahir di Sulawesi Utara pada tahun 1954, meliputi wilayah Minahasa, Sangir Talaud, Bolaang Mongondow dan Gorontalo, bahkan sampai ke daerah-daerah diluar Sulawesi Utara, termasuk wilayah Sulawesi Tengah, khususnya Distrik Dampal Kabupaten Buol Tolitoli.

Perjuangan rakyat tersebut bukan untuk melepaskan diri dari bingkai Negara Republik Indonesia (NKRI), akan tetapi semata-mata demi perbaikan nasib rakyat Indonesia dalam penyelesaian masalah-masalah yang belum sempat dilaksanakan selama perjuangan kemerdekaan, termasuk masalah pengelolaan perdagangan kopra antar pulau. Gerakan Permesta ini tidak lama bertahan karena dapat diantisipasi dan ditumpas oleh Satuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada awal tahun 1960- an. (Palu, 1 Januari 2007)

Datu Amas To Manurung Tolitoli?

Rumah adat Tolitoli
Istilah TO MANURUNG di Sulawesi Selatan, dikenal juga di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Hanya konsep mithos/legendanya sedikit berbeda. Masyarakat Luwu, Bone, dan Gowa pada umumnya beranggapan bahwa daerah Sulawesi Selatan pada masa pra sejarah, penduduknya diperintah oleh makhluk “TO MANURUNG” (orang yang turun), yaitu manusia luar biasa yang turun dari kayangan lalu memerintah di bumi. Dialah yang melahirkan tokoh legendaris Sawerigading, yang kemudian keturunannya itulah membentuk dan memerintah kerajaan-kerajaan Bugis Makassar sampai masuknya Agama Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17. Kepercayaan ini hampir sama dengan Folklore (cerita rakyat) tentang To Manurung di Tolitoli Sulawesi Tengah.

Alkisah, Tanah Tolitoli dahulu kala dihuni oleh suku Tolitoli sebagai penduduk asli. Mereka dipimpin oleh seorang yang dipilih dari komunitas masyarakat itu sendiri sebagai Ketua Kelompok. Tapi selama dalam kepemimpinannya dinilai kurang progresif sehingga tidak ada kemajuan yang nampak. Rasanya mereka ingin mencari/memilih seorang sosok yang dapat membawa perubahan ke arah kemajuan dan kesejahteraan, namun tidak ada juga figur yang memiliki tipe pemimpin dari kalangan mereka yang dapat ditokohkan.

Adalah suatu kejadian yang luar biasa ketika berburu rusa di hutan-hutan. Mereka dikagetkan dengan adanya seorang lelaki di Rumpun Bambu Mas. Untuk mengantar dan melaporkan kepada ketua kelompok orang yang tidak diketahui asal usulnya itu, mereka membikinkan keranda yang terbuat dari Bambu Mas (Awo Lagading) lalu orang aneh itu diusung ke rumah ketua kelompok sebagai tanda penghormatan. Dan oleh ketua kelompok, To Manurung itu diperkenankan untuk tinggal dan bergaul bersama mereka.

Sebagaimana lazimnya, suku Tolitoli gemar berburu rusa, maka pada suatu kesempatan, putra yang ditemukan di rumpun bambu tadi minta ikut serta berburu rusa. Sementara dalam pengejaran seekor rusa, tiba-tiba anjing pemburu mereka menggonggong dengan sangat kerasnya di bawah pohon langsat tepi telaga.

Setelah diamati apa gerangan yang membuat anjing menggonggong sekeras itu, akhirnya ditemukan bahwa rupanya di air telaga itu ada bayangan manusia. Serta merta mereka menengok ke atas, ternyata memang ada seorang manusia berjenis kelamin wanita duduk di dahan pohon langsat. Mereka pada kaget dan terdiam keheranan.

Melihat keajaiban itu, Putra Bambu Mas tadi berseru, “Wahai putri cantik! Sekiranya tidak keberatan kalau saya mempersunting kamu, maka turunlah kemari” Mendengar seruan tersebut, tanpa sepatah kata pun, putri itu langsung turun dari pohon langsat.

Dari kejadian itu, mereka segera pulang ke pusat perkampungan bersama Putri Langsat untuk melaporkan pada ketua kelompok. Akhirnya, atas restu ketua kelompok, kedua insan aneh bin ajaib itu dikawinkan dan disaksikan oleh segenap anggota masyarakat setempat.

Berselang beberapa saat kemudian atas usulan warga masyarakat, Ketua Kelompok selaku pemimpin tertinggi di kalangan suku Tolitoli secara sukarela menyerahkan kekuasaannya kepada pasangan Putra Bambu Mas dengan Putri Langsat. Sejak itulah dianggap terbentuknya KERAJAAN TOLITOLI yang dipimpin oleh To Manurung dengan gelar panggilan “DATU AMAS”.

Datu Amas dan turunannya sempat memerintah Kerajaan Tolitoli beberapa priode sampai masuknya penjajahan Belanda di Tolitoli tahun1915, yang sampai sekarang masih dikenal dan diakui sebagai turunan bangsawan Raja di Tolitoli. Hanya saja karena keturunan To Manurung itu tidak banyak yang terjun di bidang Pendidikan Tinggi sehingga kurang yang menempati posisi strategis di pemerintahan Kabupaten Buol Tolitoli baik di eksekutif maupun di legislatif.

Demikian kissah yang dituturkan secara lisan oleh Haji Mochsen Abd. Rahim, mantan Kepala Distrik Tolitoli tahun 1948-1964 ketika penulis mengumpulkan data/informasi untuk penulisan skripsi dengan judul “Masuknya Islam dan Perkembangannya di Kabupaten Buol Tolitoli” tahun 1980. (Mohon koreksi dari pembaca). (Palu, 1 Oktober 2007)

Pasangan Ideal

Pernah terjadi diskusi mini menjelang acara resepsi perkawinan. Waktu itu kami mengambil posisi berjejer di depan gedung menerima tamu undangan, tiba-tiba salah seorang diantara kami berkata ”IDEAL JUGA ISTERINYA“ Bapak Drs. Az, Saya bilang apa yang menjadi ukuran penilaian komiu sehingga terlalu dini menetapkan ia ideal? Coba perhatikan! postur tubuhnya sebaya dengan suaminya, pakaian mereka serasi, katanya. Dengan jawaban itu, memancing teman-teman yang lain memberikan versinya sebagai protes atas jawaban teman yang satu itu. Tapi sayang, diskusi ini tidak tuntas karena pasangan pengantin sudah datang dan langsung memasuki ruangan pelaminan, kamipun bubar dan masing-masing mencari tempat duduk dalam gedung. Sejak itu diskusi terhenti dan tidak pernah berlanjut.

Untuk itu, lewat tulisan ini penulis mencoba memberikan pemahaman tentang wanita atau pasangan ideal. Menurut kamus Indonesia, ideal ialah cita-cita menuju kesempurnaan. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa Ideal itu tidak bersifat lahiriyah semata, namun juga bersifat tersembunyi yang menjadi idaman atau harapan. Kalau seorang ustadz berdakwah bahwa Muslim Paripurna ialah orang yang bersih tauhidnya, tinggi taqwanya dan banyak amal shalehnya, maka dapat dikatakan sangat ideal. Atau alangkah idealnya Pemerintahan Presiden SBY - JK yang hendak mewujudkan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Demikian juga berbicara tentang wanita / pasangan ideal terkandung makna yang tersurat dan tersirat.

Adalah suatu kekeliruan bila kita hanya melihat ciri wanita ideal dari segi lahiriyah atau yang nampak saja, sehingga kalau ditanya, bagaimana wanita ideal menurut anda? Paling tidak mereka bilang, cantik dan lembut serta luwes dalam pergaulan. Ideal dalam arti yang sesungguhnya bagi seorang wanita atau laki-laki sulit ditentukan secara pasti dalam waktu singkat. Nah, barangkali disinilah ada unsur positifnya bagi remaja yang menjalin hubungan asmara sebelum menjatuhkan pilihan untuk teman hidupnya. Dalam masa perkenalan alias pacaran itu merupakan kesempatan saling mempelajari keaslian jati diri dan watak calon pasangannya. Apakah cocok dan ideal untuk dirinya atau tidak. Kalau tidak cocok jangan dilanjutkan. Jadi, remaja yang pacaran itu boleh diartikan mereka sedang belajar mencari dan memilih pasangan yang ideal.

Seorang laki-laki yang hendak memilih jodoh biasanya didorong oleh empat faktor yaitu, rupawan, bangsawan, hartawan dan agamawan. Tapi Rasulullah SAW menganjurkan “pilih yang beragama supaya bahagia” (HR. Bukhari Muslim). Timbul pertanyaan, bagaimana jika dalam suatu komunitas semuanya beragama Islam, apakah menjatuhkan pilihan secara sembarangan? Tentu tidak, faktor kecantikan dan kehalusan budi jangan diabaikan berikut kesekupuan usia juga perlu dipertimbangkan dan yang paling penting ialah ketaatan beragama, sebab tidak semua orang Islam taat menjalankan syariatnya yang sudah barang tentu susah menjadi pasangan ideal dalam membina rumah tangga bahagia Mawaddah wa Rahmah.

Isteri ideal menurut Islam telah termaktub dalam Al-Qur’an yang artinya “ ........... adalah mereka yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang beribadah....... baik yang sudah janda maupun yang masih gadis” (QS. At-Tahrim : 5). Dari ayat ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Muslimaat (yang patuh), yaitu wanita yang menyerahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah SWT. Perilakunya yang ia tampilkan semuanya bersumber dari Islam. Mu’minaat (yang beriman), perkataannya searah dengan perbuatannya. Imannya teguh karena hatinya menikmati kelezatan bermunajat kepada Allah SWT. Qaanitaat (yang taat), dalam ketaatannya ia senantiasa menyerahkan diri kepada Allah. Taibaat (yang bertaubat), senantiasa bertaubat dan mohon ampun walau ia tidak berbuat dosa. ‘Aabidaat (yang beribadah), dirinya terisi keinginan untuk selalu beribadah kepada Allah, sama saja ibadah wajib atau yang sunat.

Itulah antara lain kreteria wanita ideal yang bersumber dari Al-Qur’an dan tentunya tidak sedikit juga sifat-sifat yang terbentuk dari norma adat istiadat setempat yang perlu diaplikasikan dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat yang dapat memperkuat predikat sebagai pasangan yang ideal. Wallahu musta’an.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Valentine VS Islam

Tanggal 14 Februari, ada suatu kegiatan yang tidak pernah dilewatkan begitu saja, khususnya kawula muda. Marak dan sudah merebak ke pelosok-pelosok tanah air Indonesia, termasuk di Kota Palu dan Kabupaten-Kabupaten di Sulawesi Tengah. Kegiatan itu adalah Perayaan Valentine's Day (Hari Kasih Sayang), bukan hanya dirayakan oleh remaja-remaja Kristiani tapi juga dari kalangan remaja Islam.

Pada mulanya, pelaksanaan Valentine merupakan upacara keagamaan untuk mengenang atas kematian seorang Martir (orang suci) yang bernama Valentine. Ia dihukum karena ada pertentangan dengan Raja Romawi Claudius dalam memperjuangkan Cinta. Ia meninggal dunia dalam penjara tanggal 14 Februari 270. Untuk mengenang peristiwa sadis tersebut, Paus Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai hari peringatan Santo Valentine. Ia dianggap simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cobaan hidup.

Namun, sejak abad ke-16 upacara ritual keagamaan tersebut beransur-ansur hilang dan berubah menjadi perayaan yang berbentuk jamuan kasih sayang. Perubahan makna Valentine dikaitkan dengan berbagai versi antara lain, di kalangan orang Eropa ada kepercayaan bahwa waktu kasih sayang mulai bersemi ”Bagai Burung Jantan dan Betina” tanggal 14 Februari, sementara dalam bahasa Prancis terdapat kata Galentine yang berarti Cinta. Persamaan bunyi Galentine dan Valentine menyebabkan mereka berkata sebaiknya para pemuda mencari pasangan hidup pada tanggal 14 Februari. Dalam perkembangan dari masa ke masa dan pergeseran dari makna yang sebenarnya, maka sekarang ini orang hanya mengenal Valentine sebagai pesta kasih sayang tanpa mau tahu latar belakang sejarahnya.

Pada pelaksanaannya, perayaan Valentine diikuti oleh sahabat/teman-teman biasa untuk mencari atau memulai menjalin cinta kasih, namun pada umumnya adalah mereka yang sedang pacaran/selingkuhan. Acaranyapun bervariasi, bukan sekedar ucapan cinta dan kasih sayang, tetapi dibarengi dengan tukar kado, saling memberi coklat dan hadiah khusus kepada kekasihnya yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ada yang dilakukan di ruang terbuka ada juga di ruang tertutup bagi mereka berdua memadu cinta.

Dengan cara seperti ini patut diduga bahwa momen perayaan Valentine setiap 14 Februari mereka memperkenalkan gaya hidup orang barat dengan kedok percintaan dan perjodohan serta diharapkan akan mempengaruhi generasi muda Islam untuk mengikuti budaya barat itu. Selaku umat Islam, ada beberapa tinjauan dalam perayaan Valentne yang dapat dikritisi, antara lain memadu cinta lewat pacaran. Ada yang mengatakan jika seseorang ingin mengenal calon pasangannya mustilah pacaran dulu dengannya. Pendapat ini aneh, kenapa dengan pacaran adalah satu-satunya cara untuk mengenal calon pasangannya?

Perlu diketahui bahwa pacaran/selingkuh, memadu cinta adalah mendekati bahkan jalan menuju zina. Awalnya mungkin hanya melakukan pembicaraan langsung, dilanjutkan lewat telepon, SMS, chatting, facebook dan lain-lain, lalu janjian kencan. Karena sering ketemu berduaan (berkhalwat) akhirnya bisa terjerumus dalam hubungan yang melampaui batas kewajaran, layaknya suami isteri. Nabi Muhammad SAW memperingatkan “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, karena sesungguhnya syaithan adalah yang ketiga diantara mereka berdua, kecuali wanita itu adalah mahramnya”

Banyak remaja dan tidak sedikit orang tua yang melakukan zina karena menjalin cinta dan sering berkhalwat. Mendekati pacar dalam keadaan berduaan apalagi menyentuh bagian tubuh yang sensitif, maka secara kodrati pasti ada reaksi karena memang adalah kebutuhan biologis, kadang-kadang iman dan taqwa tidak mampu membendung dorongan syahwat insani itu. Makanya Allah mewanti-wanti dengan firmanNya “Janganlah kamu dekati zina karena zina itu adalah perbuatan yang sangat keji dan jalan yang amat buruk” (Q.S. Al-Isra’ : 32). Menjalin kemesraan yang intim dan bersepi-sepian berduaan (khalwat) merupakan perbuatan yang mendekati zina.

Mencermati perayaan Valentine's Day (Idul Hubb), Komisi Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia menilai hal ini masuk kategori Tasyabuh atau meniru-niru perbuaatan golongan lain. Untuk itu diharamkan kaum muslimin dan wajib menjauhi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Tidak pantas jika orang Islam ikut serta dalam kegiatan yang berasal dari budaya barat non muslim. Juga tidak perlu mengucapkan “Selamat Valentine” demikian pula pemberian hadiah dan dukungan pada perayaan seperti itu. Firman Allah “Jangan kamu ikuti yang kamu tidak ketahui (persoalannya) karena pendengaran, penglihatan dan bisikan hatimu akan diminta pertanggungjawabannya” (Q.S. Al-Isra’ ; 36).

Mengakhiri tulisan ini, penulis memberikan dukungan besar kepada Aktivis Dakwah Kampus (ADK) Untad Palu yang mengkampanyekan Anti Valentine. Pelajar dan mahasiswa Islam diharap untuk tidak ikut-ikutan dalam perayaan Hari Kasih Sayang itu karena sudah jelas bukan dari budaya dan peradaban Islam. Jangan sampai kita terkena ungkapan Rasulullah SAW “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” Nauzu billah min dzalik. (Palu, 7 Februari 2012)

Jumat, 01 Agustus 2014

Hikmah Halal Bi Halal

Pertama-tama marilah kita pasrahkan syukur kehadirat Allah SWT atas umur yang dipinjamkan kepada kita semua sehingga kita masih sempat hidup sampai bulan Ramadhan 1403 Hijeriah/1983 Miladiah, disusul dengan berlebaran Idul Fitri, dan terakhir masih dapat dipertemukan di acara silaturrahmi pada malam ini, 3 Syawal 1403. Selawat dan Taslim kita kirimkam keharibaan Nabi kita Muhammad, Rasulullah SAW pembawa agama yang lengkap dan sempurna untuk seluruh alam. Selanjutnya, terima kasih saya ucapkan kepada warga ortom Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah Soni atas kepercayaan dan amanah yang diberikan untuk membawakan Hikmah Perayaan Silatur Rahmi ini.

Hadirin wal Hadirat yang saya hormati!

Barangkali ada diantara kita yang bertanya, apakah dasar hukumnya daripada pelaksanaan perayaan Halal bi Halal atau Silatur Rahmi seperti ini. Apakah ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist? Tidak ! Tidak ada dalam Al-Qur’an, dan tidak pula pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kalau begitu, kapan perayaan semacam ini dimulai, dan apakah hukumnya Bid'ah?

Hadirin para undangan dan pengunjung yang saya hormati!

Pelaksanaan acara Halal bi Halal seperti ini bermula di Jawa pada tahun 1960-an, baru sekitar 20 tahun yang lalu. Adapun tujuan dan latar belakangnya ialah untuk mengatasi kelompok-kelompok Islam yang mengadakan acara-acara yang sifatnya membawa dosa karena mereka berpestapora sebagai tanda kegembiraan atas selesainya berpuasa Ramadhan. Hanya karena dalam acaranya, banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kadang-kadang diisi dengan Disko, Dansa-dansi, minum-minuman keras yang memabukkan dan lain-lain yang tidak sesuai dengan suasana lebaran Idul Fitri. Melihat kegiatan seperti itu, maka sekelompok Islam lainnya menamai acara mereka dengan Haram bil Haram. Dalam suasana seperti itu, lalu kelompok Islam yang kedua ini mengadakan saingan, mereka melaksanakan suatu acaara yang sifatnya ramah tamah penuh rasa kekeluargaan. Acara seperti ini kemudian mereka namakan “Halal bil Halal” Khusus di desa Soni ini, acara Halal bi Halal dilaksanakan untuk pertama kalinya pada bulan Syawal tahun 1966, sebagai pembawa inti sari dan hikmahnya ialah almarhum Drs. M. Husain La Ewang.

Hadirin, Itulah sejarah singkat timbulnya istilah perayaan “Halal bil Halal” yang sampai sekarang telah membudaya dan memasyarakat di seluruh pelosok tanah air Indonesia, termasuk di masyarakat desa Soni Dampal Selatan. Perkembangan selanjutnya, ialah tidak lagi banyak digunakan istilah Halal bi Halal, tetapi diganti dengan sebutan “Silatur Rahmi” yang artinya “Hubungan Kasih Sayang”.

Berbicara tentang status hukum perayaan seperti ini, adalah “Mubah”dan bukan “Bid’ah” dengan tujuan sebagai suatu usaha yang sangat bagus dalam rangka menyebarluaskan Syiar Islam di tengah-tengah masyarakat, demikian juga merupakan kesempatan yang sangat efektif dan efisien untuk saling mema’afkan dan bersalam-salaman diantara kita semua, .... sehingga kesempatan berkunjung berziarah kerumah keluarga/kerabat dan teman-teman, tidak perlu lagi menggunakan waktu yang banyak, cukup menggunakan waktu dan tempat seperti pada malam ini.

Bapak-bapak, Ibu-ibu, Sdr/i, para pengunjung yang saya hormati!

Alhamdulillah, . . . selesailah sudah kita melaksanakan puasa Ramadhan ditandai dengan beshalat Idul Fitri. Puasa yang kita laksanakan itu tentunya dengan dorongan Iman kepada Allah SWT. Karena memang Iman merupakan syarat mutlak diwajibkannya orang berpuasa dalam rangka mencapai derajat “Muttaqien”. Tanpa iman dalam dada, mustahil kita akan berpuasa secara baik dan khusu’.

Rasulullah SAW menyebutkan bahwa iman itu adalah telanjang, tidak berselubung dan tidak berpakaian. Dan pakaiannya ialah “Taqwa”. Dengan demikian, pelaksanaan ibadah puasa untuk mencapai taqwa ‘La’allakum Tattaqun’ adalah bagaikan menenun pakaian untuk menutupi dan menghiasi iman yang kita miliki. Kalau tubuh jasmani,... angota badan kita memerlukan pakaian dan perhiasan, maka lebih-lebih lagi iman dan rohani kita perlu pakaian. Kalau pakaian jasmani banyak corak dan modelnya, maka pakaian rohani hanya satu model yaitu Taqwa yang diwarnai dengan amal perbuatan yang baik. Kalau pakaian jasmani harus disesuaikan dengan situasi kondisi, maka pakaian ronani keimanan tidak memilih waktu dan tempat. Pakaian taqwa harus selalu dipasang dan dikenakan, kapan dan dimana saja kita berada, Di rumah, di masjid, di kebun, di laut, di pasar, di kantor dan tempat-tempat lain, taqwa kepada Allah SWT harus tetap bersama kita. “Ittaqullaha haisuma kunta” Bertaqwalah kepada Allah dimana saja kau berada.

Taqwa sebagai pakaian,... telah ditegaskan dalam surah Al-A’raf, ayat 26 “Wahai putra putri Adam, Sesungguhnya kami telah menciptakan untukmu pakaian yang menutupi aurat (yang kasar dan yang halus) dan sesungguhnya pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, supaya kamu selalu ingat”

Hadirin kaum Muslimin yang di Rahmati Allah SWT

Salah seorang Tabi’in dan juga seorang Sufi yang bernama Hasan Basry, menggambarkan bagaimana taqwa dapat membentuk dan membina pribadi seorang muslimin, beliau berkata: apabila taqwa telah bersemi dan tertanam dalam dada manusia, maka akan kuatlah keyakinan, teguh dan bijaksana, senantiasa berhias walaupun miskin, selalu cermat dan hemat wlaupun kaya, murah hati dan ringan tangan. Tidak suka mengejek dan menghina. Tidak menghabiskan waktu dalam perbuatan sia-sia, tidak bercakap yang tidak bermanfaat, tidak menuntut/tidak mengambil yang bukan haknya, tidak menahan hak orang lain, tutur katanya melipurlara, sabarnya alamat ketabahan, diamnya pertanda tafakur, pandangannya alamat i’tibar. Ia diam supaya selamat, bila berbicara memberi manfaat, bila berhasil dan beruntung ia bersyukur, kalau bersalah ia istigfar, kalau ditegur ia senang dan menyesal, dan kalau dicaci maki ia tersenyum.

Hadirin, Inilah antara lain untalan benang pakaian taqwa, inilah benang-benang yang kita pintal, yang kita tenun untuk menghiasi iman kita. Khusus tenunan benang taqwa yang kita pintal selama sebulan Ramadhan yang baru lalu, hendaknya kita jaga baik-baik, kita harus pelihara, jangan sampai terurai sehingga kusut berantakan disebabkan oleh kita sendiri. Janganlah hendaknya kita beranggapan bahwa bulan Ramadhan telah berangkat lantas kita semaugue, sesuka hati berbuat dosa dan pelanggaran-pelanggaran agama. Pembiasaan dan latihan-latihan yang kita lakukan selama di bulan suci Ramadhan, kiranya kita hayati, kita tetap amalkan dan semakin kita tingkatkan.

Sining umma selleng engkae hadere !

Uleng ramalang labeni mpelaiki, tarakkani tellu ngesso labe’e. Uleng ramalang yanaritu uleng latihan pabbiasai alewe pugau amala, jamang-jamang makessing makkeguna nennia pabbiasai alewe tettangngi , mabelai pole risininna gau-gau iya ri appesangkangnge. De’ makkeda anu haramngemi ri appesangkang pugau ri uleng ramalang, tapi amu anu hallalae ri appesangkatto, padapadanna manre minungnge ri essona ramalang. Narekko engkaki mullei pattettei niniriwi sining-sining iya ri appesangkangnge nennia pugaui iya ri apparentangnge gangkanna pannennungengngi ri saliwenna uleng ramalang, majeppu engkaniritu berhasil, papole wassele pole ri puasata, nennia engkatoniritu muttama ri lalenna golongan Muttaqin yanaritu golongan ri tarima matterru muttama ri lales suruga iya najjanjiangnge Puang Alla Taala ri ahera’ matti. Nari makkuannanaro ajakki engka pahangngi, makkatenniwi makkadae, labenni ulen ramalan, rewesiki pugaui gau ri poji-pojie sibawa de’ naripadoli hallala hallulu’ de’ nari pasilaingi passurong yarega pappesangka agama. Narekko mappakkuroi pahatta nennia sifa’e, mabbettuangngi makkedae de’pa to berhasil pole ri latihan-latihan ri ulen ramalan, nennia de’ topa tu mattama ri golonganna muttaqinnge.

Hadirin Hadirat yang berbahagia

Dengan berakhirnya bulan Ramadhan, berarti hari kemenangan bagi orang-orang yang berpuasa secara ikhlas dan khusu’ dan sekaligus hari bertekuk lututnya Syaithan-penggoda, yang ingin merendahkan martabat kita manusia, tetapi dibalik daripada itu, perlu diketahui, godaan pasti akan selalu datang silih berganti, karena syaithan, iblis yang kalah dan bertekuk lutut itu, tidak rela dengan kekalahannya, tidak berhenti hanya sampai disitu. Ia akan datang dari semua jurusan untuk menggoda dan merayu kita’ Selama mata masih dapat melihat, kaki masih dapat berjalan, tangan masih dapat menggenggam dan jantung masih berdenyut, ujian dan godaan pasti akan datang bertubi-tubi menemui kita.

Kalau dalam masyarakat, kita menjumpai lambaian-lambaian syaithan, kita mendengar bisikan-bisikan Iblis merayu untuk melakukan perbuatan haram, maka yakinlah bahwa semua itu tiada lain kecuali aneka ragam pengaruh yang menghambat kita menuju keredhaan Allah SWT.

Dalam Surah Al-A’raf ayat 16-17 ditegaskan yang artinya “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat (kata syaithan kepada Allah), maka saya akan menghalang-halangi mereka jalan yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dengan tipu dayaku, dari depan dan da ri belakang, dari kanan dan dari kiri mereka, sehingga kamu tidak akan mendapati mereka bersyukur” (Q.S. Al-A’raf : 16-17).

Itulah sekelumit gambaran ujian dan godaan syaithan/iblis kepada kita manusia. Semuanya pasti akan terjebak dan terpengaruh, kecuali orang yang kuat iman taqwanya kepada Allah serta ikhlas dalam beramal. Iman, taqwa dan amal shaleh merupakan modal dan bekal kita, Tidak ada kebahagiaan dan ketentraman hidup tanpa iman dan taqwa kepada Allah SWT.

Bapak/ Ibu sdr/i para pengunjung yang saya hormati!

Bulan suci Ramadhan telah pergi meninggalkan kita, yang ditandai dengan berlebaran Idul Fitri, hari kembalinya kita kepada kesucian fitrah rohani kita, wajah-wajah kita yang nampak berseri-seri pada malam hari ini, kiranya wajah dan dada-dada yang bersedia memberi dan menerima salaman dan maaf diantara kita. Mari kita menghubungkan kembali silatur Rahmi dan kasih sayang diantara kita, yang barangkali masih merasakan bekas-bekas luka dan sakit hati karena suatu persoalan, dan perselisihan.

Kepada seluruh jamaah muslimin / muslimat di kampung Soni ini, laki wanita, tua atau muda pasti, atau pernah tejadi percekcokan, perbantahan dan kesalahfahaman diantara kita, diantara keluarga, diantara tetangga, apakah karena persoalan tanah perkebunan, persawahan, tanah pekarangan, persoalan ternak atau persoalan apa saja, sehingga terjadi antipati, kebencian, sentimen dan rasa dendam. Untuk itu, melalui tempat ini, melalui perayaan Halal bil Halall/Silatur Rahmi ini, kami menghimbau, kami mengajak dan kami menggugah pintu hati Bapak-bapak, Ibu-ibu, Sdr(i) yang mempunyai persoalan. Kiranya pada suasana lebaran, suasana Idul Fitri ini, marilah kita menyelesaikan masalah dan persoalan itu, menyelesaikan dengan bermaaf-maafan dan bersalam-salaman dengan penuh rasa kekeluargaan.

Hadirin / Hadirat,

Memang pada prinsipnya, semua orang tidak ada yang mau mengaku bahwa ia yang bersalah dalam suatu persoalan, malah semuanya mengaku bahwa dirinyalah yang berada dipihak yang benar, sehingga sama-sama bertahan, dan tidak ada yang mau memulai meminta maaf.

Hadirin! Dalam hal ini ajaran agama kita, agama Islam, memberikan petunjuk dan tuntunan, yaitu, yang muda harus terlebih dahulu meminta maaf kepada yang lebih tua umurnya, misalnya anak minta maaf kepada ibu bapaknya, isteri kepada suaminya, menantu kepada mertuanya, murid kepada gurunya, dan seterusnya, dan seterusnya, yang lebih muda kepada yang lebih tua,....namun, tidak menutup kemungkinan dan tidak menutup jalan, yang lebih tua mengulurkan tangan kepada yang lebih muda usianya, yang penting siapa yang duluan muncul kesadarannya.

Kalau terjadi demikian, orang yang mengulurkan tangannya meminta maaf kepada kita, maka wajib hukumnya kita terima dengan lapang dada dan dengan tangan yang terbuka pula. Karena apabila kita memaafkan dia, maka dosa kita jadi dobel, yaitu dosa kepada Allah dan dosa kepada orang itu sendiri.


Dosa kepada Allah, tidak akan diampuni apabila tidak dengan “Taubat Nasuhah” yaitu taubat dengan rintihan, penuh penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi kelakuannya seperti itu. Hadirin! Harus disadari bahwa perbuatan menolak permohonan maaf seseorang adalah sangat tercela, dan dimurkai oleh Allah SWT dan Rasul Nya SAW.

Kita harus tahu bahwa orang datang meminta maaf itu, sungguh sangat berat, barangkali lebih berat daripada mendaki gunung yang tinggi. Betapa tidak! Ia diliputi rasa malu dan segan, serta dihantui, dibayang-bayangi oleh rasa ragu-ragu, adakah diterima baik atau ditolak secara kasar. Tetapi karena dengan kesadaran dan ingin selamat dari siksaan Allah, maka semuanya itu tidak diperdulikan, dan harus mengul urkan tangan minta maaf secara ikhlas karena Allah semata.

Hadirin /Hadirat

Juga perlu diketahui bahwa rasa benci, sentimen dan rasa dendam mempunyai banyak bahaya dan efek samping yang merugikan, antara lain secara psysiologis atau ilmu kejiwaan membahayakan jasmani kita, gampang kena berbagai penyakit, seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, pemikiran bisa jadi tidak sehat karena selalu berpikir mau membalas dan mencelakakan orang itu. Rasa benci, iri dan dendam itu sangat mengganggu dalam hidup bermasyarakat. Hubungan muamalah dan kerjasama yang baik tidak dapat tercipta, bahkan sewaktu-waktu akan bentrok di yang heran, mencari dan bertanya tentang amalnya selamanya hidup di dunia, . . . mereka tidak mendapatkan pahala dari amal shalehnya disebabkan oleh karena ada sangkutan dosanya terhadap sesama manusia, dan tidak diselesaikan sebelum meninggal dunia.

Hadirin kaum Muslimin yang saya hormati,

Bertolak dari semuanya itu, . . .marilah kita mengambil kesempatan, menggunakan suasana lebaran Idul Fitri ini untuk memulai suasana hidup baru, kembali kepada fitrah kesucian kita. Kita sudah telah keluar dari dari bulan suci Ramadhan adalah dalam keadaan suci bersih dari dosa kepada Allah SWT. Dan sekarang, malam ini, marilah pula kita sempurnakan, kita tambah suci lagi diri kita dengan meminta maaf dan bersalam-salaman kepada sesama manusia, sesama ummat Islam.

Kalau bukan kesempatan seperti sekarang, apalah artinya Hari Raya Lebaran Idul Fitri, apalah artinya perayaan Silatur Rahmi ini, dan apalah gunanya kita menghadiri acara ini. Kalau bukan suasana seperti ini, kapan lagi kita akan bersalammengulurkan tangan, berjabat tangan. Jika saat ini dirasa berat, maka lebih berat lagi dihari-hari di luar suasana lebaran. Jangan malu, jangan segan, semua makhluk Allah turut bergembira kecuali Iblis apabila kita saling maaf dan bersalam-salaman, sebaliknya, hanya syethan dan iblis yang beruntung dan bergembira apabila kita bertolak belakang dan bermusuhan, sedangkan bagi kita, tidak ada keuntungan sedikitpun yang diperoleh daripada pereselisihan dan permusuhan itu.

Permintaan maaf ini jangan ditunda-tunda, jangan ditahan-tahan lagi, karena tidak ada jaminan kita masih hidup smpai Hari Raya Idul Fitri yang akan datang. Apa bila ajal sudah sampai, maka tidak memilih bulu, tua atau muda sama saja, kita harus masuk kubur. Alangkah celakanya kita bila mati sebelum bermaaf-maafan dan menghubungkan hubungan silatur rahmi diantara kita di dunia ini.

Sining umma selleng engkae hadere,

Iyahe wennie . . . iyahe wettue pura allepperengnge kesempatan siseng majama’-jama’ . . . siaddampeng-dampengeng ripallawangetta maneng. Ajakamma puraki sisala-sala, puraki si cekke-cekke ati massumpulolo, mabbalibola. De’na gaga wettu kaminang makessing, kaminang maringeng, sangadinna wettu-wettu pura malleppe taue, wettu assiarangeng pada-padanna iyahe wennie, iyahe wettue. Narekko mawerre’i tasedding millau addampeng makkukkuae, majeppu lebbi mawerrepi ri wettu laingnge.

Hadirin / Hadirat, Ajakki tamasiri’-siri’, aja ritahan-tahan, ajatona naritaro-taro gangka taun paimeng, nasaba de’ nirisseng pattentui makkedae narapi mopiga tauppaimeng yare’ga na de’na, nasaba amatengnge de’nappile umuru. Siaga egana tau matowa umuru’na namonro mopa namaloloe umuru’na mate, Asolangeppa narekko ritahan-tahan mopi makkedae tau paemeppi millau addampeng naluru pole ajjalengnge, mateki riolona allepperengnge taun mangngoloe, Naudzu billah min dzalik.

Bapak-bapak/Ibu-ibu/Sdr(i) para pengunjung yang saya hormati,

Akhirnya, marilah kita berusaha dan berdoa kepada Allah Azza wa jalla, semoga kita senantiasa diliputi suasana salam, suasana kedamaian dan ketentraman serta keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.

Ya, Allah, Engkaulah salam, dari Engkaulah salam, kepada Engkaulah semuanya kembali salam, hidupkanlah kami ya Allah dengan salam, masukkanlah kami kedalam sorgamu Darus Salam, Amat suci Engkau ya Allah, maha mulia engkau ya zal jakali wal ikram. Ya Allah, berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat serta jauhkanlah kami dari siksaan api neraka, Amien ya Rabbal Alamin.

Sekian dan terima kasih, kurang lebihnya mohon di maafkan, Wassalamu Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh. (Soni, 3 Syawal 1403 H / 14 Juli 1983 M / Hasan La Ewang)