Rabu, 08 April 2015

100 Tahun Kumpulan Surat-Surat Kartini

Buku Door Duisternis Tot Licht
Raden Ajeng Kartini adalah salah seorang wanita yang mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, meski ia tidak pernah memanggul senjata dan tidak gugur dalam peperangan melawan penjajahan Belanda. R.A. Kartini hanya dikenal sebagai pelopor perjuangan emansipasi yang hendak mengangkat harkat dan martabat kaum wanita melalui artikel dan surat kepada teman-teman sahabat penanya.

Kumpulan surat-surat Kartini yang dikirim kepada teman-temannya baik di Indonesia maupun di Eropa, oleh Abendanon (Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan) Hindia Belanda diberi Judul “Door Duisternis Tot Licht” dan diterbitkan pada tahun 1911, 100 tahun yang silam. Tahun 1922, buku Door Duisternis Tot Licht diterjemahkan kedalam bahasa Melayu oleh Armin Pane dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Judul ini bukan diambil dari salah satu topik surat-surat itu, tetapi Habis Gelap Terbitlah Terang adalah inti dari pada keseluruhan surat-surat Kartini, yang mana nasib kaum Hawa saat itu berada dalam keadaan gelap terbelenggu, namun dengan ide-idenya itu dapat menggugah hati para pemuka masyarakat dan pemerintah serta wanita itu sendiri untuk terbit/bangkit berkompetisi dengan kaum Adam.


Tahun 1938, buku tersebut dicetak ulang dan diterbitkan dalam format yang berbeda dari sebelumnya. Armin Pane membagi surat-surat Kartini itu kedalam lima bab. Pembagian ini dilakukan untuk menunjukkan adanya tahapan perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi dengan teman-teman/sahabat penanya. Pada buku versi baru ini, Armin menciutkan jumlah surat Kartini dari 108 pucuk menjadi 87 karena adanya kemiripan isi beberapa surat pada buku Door Duisternis Tot Licht. Menurut Armin, surat-surat Kartini bagus dibaca sebagai roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa surat-surat tersebut ia bagi dalam lima bab.


Raden Ayu Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879 dari kalangan ningrat/bangswan Jawa. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung/tiri. Karena keturunan bangsawan, Kartini diperbolehkan sekolah tapi hanya sampai ELS (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar (SD). Setelah tamat ELS pada usia 12 tahun dan sudah menanjak gadis remaja, maka Kartini harus tinggal di rumah karena dia sudah mulai dipingit (dikurung/ tidak dibebaskan lagi keluar rumah), pada hal dia ingin sekali dan mampu melanjutkan studinya di Betawi atau di Eropa, negeri Belanda seperti teman-teman sekolahnya yang lain.


Walaupun dipingit, tapi karena Kartini belajar bahasa Belanda di ELS, maka di rumah ia banyak membaca buku-buku, majalah dan koran Eropa serta gemar berkorespondensi/surat menyurat dengan teman-temannya. Lewat bacaan-bacaan itu, Kartini tertarik pada kemajuan cara berpikir wanita Eropa, sehingga timbul hasrat keinginannya untuk memajukan wanita pribumi yang statusnya rendah dan terbelakang. Makanya ia banyak menulis artikel dan surat guna menyalurkan inspirasi dan cita-citanya. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial secara umum. Ia memperjuangkan wanita agar memperoleh kebebasan menuntut ilmu pengetahuan, persamaan hak, peran dan status sosial dalam masyarakat seperti laki-laki.


Pada umur 24 tahun, tepatnya tanggal 12 November 1903, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang Djoko Adhiningrat yang sudah pernah memiliki tiga isteri, mereka dikaruniai anak pertama sekaligus terakhir yang diberi nama RM. Soesalit. R. A. Kartini meninggal dunia pada tanggal 17 September 1904, lima hari pasca persalinannya dalam usia 25 tahun.


Apa isi dari sekian banyak surat Kartini? Surat-surat Kartini pada umumnya mengungkap tentang kendala yang harus dihadapi saat bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Ia prihatin melihat kondisi sosial budaya masyarakat, terutama tentang keadaan perempuan pribumi. Budaya Jawa dipandang sebagai penghambat kemajuan. Dia ingin wanita Indonesia memiliki kebebasan menuntut ilmu pengetahuan seperti wanita di Eropa. Ide dan cita-cita Kartini semuanya atas dasar Ketuhanan, kemanusiaan, keindahan, kebijaksanaan dan cinta tanah air.


Sebagian besar suratnya menggambarkan penderitaan lahir batin perempuan Jawa akibat kungkungan adat istiadat, antara lain tidak boleh bebas duduk di bangku sekolah selain anak bangsawan, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tidak pernah dikenalnya serta harus bersedia dimadu dan lain-lain perlakuan yang tidak adil. Pandangan lain yang diungkapkan dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Kartini mempertanyakan mengapa kitab suci Al-Qur’an harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk difahami. Ia juga mempertanyakan dengan alasan ajaran agama dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami.
 

Raden Ajeng Kartini bukan hanya seorang tokoh Emansipasi yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan dia adalah tokoh nasional. Ide dan gagasan pembaharuannya itu, ia telah berjuang demi kepentingan bangsanya. Cara pikir dan prilakunya sudah melingkupi perjuangan besar meski dia hanya di wilayah Jepara dan Rembang Jawa Tengah.

Atas perjuangannya lewat korespondensi itu, Presiden Soekarno menerbitkan Surat Keputusan (Kepres) No.108/1964 tanggal 2 Mei 1964 tentang Penetapan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sekaligus menetapkan hari lahir Kartini 21 April diperingati setiap tahun sebagai Hari Besar Nasional “HARI KARTINI”, April tahun 2011 ini merupakan HUT Kartini yang ke- 132. Kiranya Kartini-Kartini generasi muda dengan cita-cita dan ide cemerlang akan terbit lebih terang menutupi kegelapan dan ketertinggalan, khususnya kaum wanita Indonesia. Semoga!

 Palu, 20 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar