Rabu, 08 April 2015

Makna Simbolis Adat Mappacci



Mappacci
Prosesi pernikahan suku Bugis dan suku-suku lain akan melalui 3 tahap, Pranikah, Aqadnikah dan Pascanikah. Salah satu acara pada Pranikah ialah Tudampenni (duduk malam) menyambut Aqadnikah keesokan harinya dengan mengundang tetangga, kerabat dan tokoh masyarakat. Acaranya ialah Mappacci/korontigi yaitu pemberian pacci kepada calon pengantin yang dalam bahasa Indonesia dinamai Pacar. Pacar bukan berarti menjalin kemesraan antara pria dengan wanita, tetapi pacar atau daun pacci (Lawsania alba) adalah sejenis tumbuhan yang pada mulanya hanya digunakan untuk pewarna merah/penghias kuku.


Bosara
Pacci yang dikaitkan dengan kata Paccing dalam bahasa Bugis berarti kebersihan dan kesucian. Karena daun pacci/daun pacar itu mempunyai karakter tersendiri dan dipakai sebagai simbol kesucian, maka pacci juga dijadikan isyarat kegadisan/keperawanan seorang wanita. Dengan demikian wanita remaja yang tidak orsinil lagi, menurut adat tidak musti dilaksanakan acara mappacci baginya. Mappacci menurut orang Bugis bermakna “Iyyanaritu gau ri pakke onroi nallari ade mancaji mabbiasa, tampu sennung-sennungeng ri nia’ akkatta madeceng  naiyya naletei pammasena Dewata Sewwae”


Pemberian pacci
Sebelum adat Mappacci dimulai, terlebih dahulu memilih orang yang akan memberikan pacci kepada calon mempelai. Dalam hal ini tidak boleh sembarang tunjuk, tapi dipilih dari mereka yang punya kedudukan/status sosial yang baik atau keluarga-keluarga dalam kehidupan rumah tangganya sakinah dan harmonis. Ini mengandung makna semoga calon pasangan itu bisa seperti mereka yang meletakkan pacci di telapak tangannya. Begitu juga penentuan jumlah personilnya disesuaikan dengan stratifikasi sosial calon mempelai, tidak boleh ikut-ikutan. Bagi golongan bangsawan tinggi (Datu/Andi) adalah Duakkasera (2 X 9) yaitu 9 pasang suami isteri, golongan bangsawan menengah (Petta/Daeng) Duappitu (2 X 7), 7 pasang suami isteri dan golongan awam cukup 1 X 9 atau 1 X 7 tanpa berpasangan.


Alat perlengkapan yang diperlukan ialah Bekkeng (piring logam/kuningan), daun pacci yang sudah dilumat dan dibentuk bulat, bantal, sarung 7 lembar, pucuk daun pisang, daun nangka 9 lembar, benno (biji jagung/beras yang disangrai hingga mekar), taibani/patti dari sarang lebah sebagai alat penerang diolah dengan cara memberi secarik kain atau kapas lalu dililit dengan patti sebagai sumbu (sekarang diganti dengan lilin). Peralatan tersebut ditata dengan posisi; bantal yang diatasnya tersusun 7 lembar sarung, daun pisang dan daun nangka. Di dekat bantal diletakkan bekkeng yang berisi pacci, benno, dan patti yang sudah dinyalakan. 


Sebelum dimulai, pemandu acara (MC) memimta calon pengantin menuju ke ruangan yang sudah disiapkan dan duduk di depan bantal, didampingi ibu bapak atau keluarga dekatnya, Selanjutnya, MC mempersilahkan mereka secara bergilir yang sudah terpilih. Pertama ia mengambil 2 butir pacci di bekkeng lalu diletakkan dan dipijit-pijit di telapak tangan kanan dan kiri calon mempelai disertai doa (dalam hati) semoga calon ini akan hidup bahagia sejahtera dan selamat dunia akhirat. Seusai itu mereka disuguhkan daun sirih (sekarang diganti dengan rokok atau cindra mata) sebagai tanda terima kasih.


Selama acara berlangsung, Indo Botting (orang tua/kerabat) calon mempelai sekali-sekali menghamburkan benno ke arah yang sedang Mappacci (kurang bermakna kalau hanya menggunakan beras kuning). Setelah semua dapat giliran, pemandu acara mempersilahkan hadirin mencicipi kue-kue tradisional yang telah dihidangkan dalam bosara.


Makna Simbol-Simbol pada acara Adat Mappacci


Setiap simbol yang digunakan dalam acara Mappacci mengandung makna filosofi dan Doa, 


  1. Daun Pacci yang sudah dihaluskan dan dibentuk bulat sebagai simbol kesucian, menandakan bahwa calon pasangan  sudah suci dan lembut hatinya, tekadnya sudah bulat memasuki jenjang rumah tangga. (tidak bermakna kalau hanya menggunakan Daun Pacci dalam keadaan utuh tanpa diproses).
  2. Bekkeng tempat pacci melambangkan 2 insan yang menyatu dalam satu wadah sebagai suami isteri. Semoga pasangan ini tetap harmonis dan lestari hingga ajal menjemputnya.
  3. Bantal sebagai pengalas kepala, sementara kepala adalah bagian paling mulia bagi manusia. Berarti  melambangkan kehormatan dan kemuliaan. Untuk itu calon pengantin diharap senantiasa menjaga harkat dan martabatnya dan saling menghargai.
  4. Sarung 7 lembar, sarung diidentikkan dengan kesusilaan, 7 lembar diartikan 7 hari seminggu menunjukkankan kewajiban, tugas pokok dan fungsi suami isteri harus dijalan kan setiap hari. Suatu ungkapan buat laki-laki, jangan kawin kalau belum mampu mengelilingi dapurmu 7 X sehari.
  5. Pucuk Daun Pisang sebagai simbol kehidupan berkesinambungan. Salah satu sifat alami pisang ialah tidak mati sebelum muncul tunasnya, daun tua belum layu daun muda sudah muncul. Hal ini selaras dengan tujuan pernikahan yang akan melahirkan keturunan.  Dengan simbol ini semoga pernikahan mereka akan seperti karakter pisang.
  6. Daun Nangka 9 lembar dimaknai sebagai suatu harapan optimal. Menurut bahasa Bugis, Nangka dinamai Panasa, beda-beda tipis dengan sebutan Minasa yang berarti cita-cita. 9, menunjukkan angka tertinggi. Kiranya keluarga baru ini punya motivasi kerja keras untuk menggapai cita-cita secara optimal.
  7. Taibani/Patti yang dinyalakan sebagai pelita dapat diartikan calon pasangan akan mampu menerangi rumah tangganya secara bersama-sama dan melahirkan keturunan yang berkualitas, seperti halnya Lebah yang berkerja sama  membuat sarang dan menghasilkan madu yang sangat berkhasiat (kurang khidmat kalau hanya pakai lilin).
  8. Benno, mengandung harapan semoga anak cucu Adam yang akan membentuk keluarga baru  senantiasa  mengalami peningkatan sebagaimana sebiji jagung atau beras yang tadinya kecil menjadi besar setelah melalui proses penggorengan/sangrai.

Itulah sekilas tata cara dan makna yang terkandung dari simbol-simbol pada acara Mappacci suku Bugis yang mendekati keasliannya. Adat ini telah membudaya, diwariskan turun temurun sejak sebelum Islam. Setelah agama Islam masuk dan melembaga di Sulawesi abad ke-17, tradisi ini tetap dipertahankan, namun mengalami sinkretisme dan akulturasi (berbaur) dengan budaya Islam. Pembauran itu terlihat dengan adanya kegiatan Mappanre temme (khatam Qur’an) dan pembacaan Barazanji sebelum acara Mappacci. Nanti sampai pada bacaan syair Barazanji “Asrakal Badrun Alaina” baru MC mempersilahkan orang yang telah ditunjuk  memulai pemberian pacci kepada calon mempelai. Jadi, khatam Qur’an dan pembacaan Barazanji bukan saat akan Aqadnikah seperti yang kita saksikan selama ini. Kiranya adat istiadat ini tetap dilestarikan,  simbol-simbol  tidak banyak direkayasa dan dimodifikasi sehingga menghilangkan makna hakiki dari adat Mappacci.

Palu, 30 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar