Jumat, 24 April 2015

Mengapa 2 Anak Cukup?



Keadaan kependudukan Indonesia di masa Orde Lama yang pronatalis adalah jumlahnya besar, pertumbuhannya tinggi, penyebaran tidak merata, kualitas yang rendah, kemiskinan merajalela dan keterbelakangan yang jauh dari negara-negara lain. Melihat ciri-ciri kependudukan seperti ini, maka pemerintah Orde Baru yang antinatalis membentuk lembaga /  Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melalui Keppres No. 8 tahun 1970. Keluarga Berencana (Family Planning) adalah salah satu ikhtiar manusia dalam mengatur kehamilan dengan tidak melawan hukum agama, undang-undang negara dan moral Pancasila. 

Dalam pelaksanaannya, Program Keluarga Berencana (KB), diarahkan pada dua sasaran, sasaran langsung dan tidak langsung. Sasaran langsung adalah mengajak masyarakat/Pasangan Usia Subur (PUS) menjadi peserta KB untuk mengatur jarak kehamilan dan kelahiran dengan menggunakan alat kontrasepsi secara berkesinambungan. Sementara sasaran tidak langsung ialah menjalin kemitraan dan komitmen dengan organisasi, instansi/institusi pemerintan dan swasta serta unit-unit terkait yang dapat memberikan kontribusi/dukungan terhadap proses pelembagaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). 

Dengan program Kependudukan dan Keluarga Berencana, diharapkan pula pada suatu masa ke depan, akan terwujud apa yang dinamakan Penduduk Tumbuh Seimbang dan Penduduk Tanpa Pertumbuhan. Untuk mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS), terlebih dahulu harus mencapai Total Fertility Rate (TFR), yaitu jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu selama masa suburnya, yang dalam hal ini TFR yang diharapkan adalah 2 (dua) lebih sedikit sebagai cadangan kematian, artinya sepasang atau sekelompok pasangan suami isteri hanya melahirkan 2,1 sampai 2,3 anak, misalnya ; dari 100 PUS hanya akan lahir 210 – 230 anak selama masa reproduksi pasangan tersebut.

Sebenarnya, kondisi seperti ini telah terjadi di beberapa wilayah pada dekade 1990-an dengan TFR pada kisaran 2,1 – 2.3, antara lain  Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Timur, DKI Jakarta, Bali dan Provinsi Sulawesi Utara. Demikian halnya daerah-daerah lain, sudah banyak yang TFR nya kurang dari 3, dan sudah berada di ambang pintui era PTS. Tapi sayang, keberhasilan yang diraih setelah melalui perjuangan 30 tahun itu ambruk diterpa arus reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru 1998, menyusul diceburkannya BKKBN Kabupaten/Kota dari vertikal masuk otonomi daerah 2003, visi misinyapun diganti dengan dalih melanggar HAM (Hak Azasi Manusia). Dampaknya pada meningkatnya TFR menjadi 3, 2; berarti setiap keluarga mempunyai anak 3 orang atau lebih.

Nantinya, setelah Total Fertility Rate (TFR) tercapai, upaya selanjutnya untuk mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) ialah terjadinya Net Reproduction Rate (NRR). Kondisi ini dapat diidentikkan dengan indikator Replacement Level; yakni banyaknya anak wanita yang dapat menggantikan ibunya pada generasi berikutnya, contoh ; kalau NRR = 2 berarti setiap wanita akan digantikan oleh 2 orang anak wanitanya. Sedangkan PTS akan terjadi jika NRR = 1 yaitu seorang atau sekelompok wanita akan digantikan oleh seorang atau sekelompok anak wanitanya dalam jumlah yang sama. Atau dengan kata lain bahwa NRR = 1 akan terjadi apabila rata-rata seorang wanita selama hidupnya hanya melahirkan satu orang anak wanita, dan anak wanita itu akan mencapai usia minimal seperti ibunya sewaktu ia dilahirkan. 

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat difahami bahwa model Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) adalah kondisi kependudukan di suatu wilayah yang mana jumlah wanita pada suatu generasi digantikan oleh wanita dalam jumlah yang sama pada generasi berikutnya. Namun, karena seorang anak wanita yang akan menggantikan ibunya membutuhkan seorang laki-laki pengganti bapaknya (sebagai suami) agar jumlah penduduk tidak berkurang. Oleh karena itu setiap keluarga perlu memiliki 2 orang anak (catur warga).

Untuk mempertahankan kondisi kependudukan seperti itu dan mewujudkan Penduduk Tanpa Pertumbuhan (PTP) sebagai tujuan akhir Program KB, perlu didukung dengan tenaga pengelola/pelaksana yang profesional, khususnya tenaga lini lapangan. Petugas lapangan/Penyuluh KB (PLKB/PKB) sebagai pembina desa/kelurahan sangat besar peranannya dalam meningkatkan pencapaian akseptor KB dan pembinaannya agar mereka tetap menggunakan alat kontrasepsi secara lestari dan mandiri. Banyaknya anak bukan jaminan akan kebahagiaan dan kesejahteraan suatu keluarga, malah justru bisa jadi merepotkan kedua orang tua (jika tidak memiliki kesiapan yang memadai -ed). Untuk itu salah satu solusinya adalah menjadi peserta Keluarga Berencana (KB). Melalui program KB besar kemungkinan akan menikmati ketentraman, kebahagiaan dan kesejahteraan. Mengapa tidak? Dengan menjadi akseptor KB secara berkesinambungan, suami isteri dapat merencanakan dan menetapkan jumlah anak ideal yang diinginkan sesuai kemampuan ekonomi keluarga. Ayo ikut KB  ”2 Anak Cukup” laki-laki perempuan sama saja. 

Palu, 15 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar