Rabu, 08 April 2015

Rihlah Roh dan Jasad Nabi Muhammad

Agenda Perjalanan Isra Mi'raj
Rihlah atau perjalanan Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa luar biasa dan penting dalam sejarah perkembangan agama Islam. Perjalanan rohani dan jasmani itu memberikan kesegaran baru ke dalam jiwa Nabi Muhammad yang sebelumnya senantiasa dirundung malang dan tekanan-tekanan dari kafir Quraish, sekaligus menambah kekuatan iman dan keyakinannya akan kebesaran Allah SWT. Isra’ Mi’raj tersebut terjadi pada 27 Rajab tahun 621, satu tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah, 1433 tahun yang silam.

Tentang peristiwa tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an yang artinya “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya, serta untuk memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat” (Q.S. Al-Isra’ : 1)


Masjidil Haram yang dimaksud pada ayat ini ketika itu adalah masih sebatas lokasi di Mekkah dimana Ka’bah berada, belum seperti sekarang. Sementara Masjidil Aqsha di Palestina bukanlah bangunan semacam masjid-masjid masa kini, tetapi hanya suatu lapangan terbuka di atas bukit Zion (belakangan lahir gerakan Zionisme Yahudi). Di areal yang luas itu terdapat sebidang tanah berbentuk persegi empat. Itulah bekas reruntuhan “Baitul Maqdis” yang dibangun oleh Nabi Sulaeman tahun 950 sebelum Nabi Isa. Konon, di tempat itulah Nabi Muhammad melakukan shalat sunat 2 rakaat sebelum beliau Mi’raj naik ke Sidratul Muntaha.
 

Tentang tanda-tanda kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad pada malam itu dimaksudkan agar ketika menerima wahyu mengenai alam ghaib dan keajaiban-keajaiban dunia akhirat seperti jagat raya, planet bimasakti/gugusan bintang, sorga, neraka dan lain-lain, Nabi Muhammad tidak bingung dan tidak ragu-ragu lagi karena sudah pernah dirasakan dan disaksikan dengan mata kepala sendiri bahkan dengan pengalamannya itu, beliau dapat lebih mudah menjelaskan dan meyakinkan umat manusia tentang hal-hal yang bersifat ghaib dan rahasia.
 

Kedua jenis perjalanan tersebut, baik Isra’ maupu Mi’raj bukan hanya rohani Nabi Muhammad, bukan pula mimpi, tetapi terjadi dengan tubuh kasar bersama roh halusnya sebagai Mu’jizat, keluar dari kebiasaan dan berada di luar jangkauan akal manusia. Tuhan semesta alam melakukan apa yang dikehendakiNya tanpa dibatasi hukum-hukum alam, tidak butuh kausalitas karena Dia sendiri menciptakan hukum sebab akibat. Semua mahluk ciptaanNya tunduk kepadaNya, karena ZatNya, SifatNya dan PerbuatanNya berada diatas semuanya. Jika manusia dewasa ini sudah mampu menjelajahi ruang angkasa dengan tubuh dan rohnya, maka peristiwa Isra’ mi’raj itu mudah sekali diterima oleh akal manusia yang percaya bahwa Allah itu Maha Kuasa terhadap apa yang Ia kehendaki.
 

Sebelum Nabi Muhammad diperjalankan, terlebih dahulu menjalani Operasi Bedah Dada (Syaqqus Shadri) oleh Malaikat Jibril. Syaqqus Shadri dilakukan bukanlah karena beliau mengidap penyakit, tetapi bertujuan mengisi sesuatu untuk menyesuaikan kondisi jasmani rohaninya dengan jarak tempuh dan kecepatan jelajah yang akan dilalui. Sama halnya dengan astronot yang akan menjelajahi ruang angkasa, tentunya perlu dikarantina dan latihan-latihan baik fisik maupun mental. Rihlah/perjalanan luar biasa itu menggunakan kendaraan yang dinamai “Buraq” dengan kecepatan menyerupai kilat sekejap mata, sehingga Nabi Muhammad dapat kembali di Mekah pada malam itu juga menjelang subuh.
 

Dalam perjalanan horizontal Isra’ dari Mekkah ke Yerusalem diperlihatkan berbagai tamzil ibarat dan tempat-tempat bersejarah. Sedangkan perjalanan vertikal Mi’raj naik ke Sidratul Muntaha Mustafa menjelajahi jagat raya menembus langit yang tujuh lapis. Langit yang banyak disebut dalam Al-Qur’an, tapi belum banyak dibicarakan dan dipecahkan oleh ilmu pengetahuan hingga saat ini.

Apakah sebenarnya langit yang tujuh itu? Namun Nabi Muhammad SAW telah menjelajahinya 1433 tahun yang lalu. Seperti halnya perjalanan penting yang dilakukan oleh manusia, biasanya diakhiri pertemuan dengan pejabat yang mengundangnya sebagai suatu kehormatan. Demikian pula puncak perjalanan Isra’ Mi’raj pada malam itu. Nabi Muhammad diperkenan dan diizinkan menghadap ke hadirat Allah Azza wa Jalla. Sebagai kenang-kenangan sekaligus amanah yang diberikan oleh Allah kepadanya dan seluruh umat manusia ialah “SHALAT” lima waktu sehari semalam.

Menyimak proses penerimaan Shalat sebagai kewajiban, maka kita akan sepakat bahwa perintah shalat mempunyai keistimewaan tersendiri karena Rasulullah, Muhammad SAW yang langsung menerimanya dari Allah SWT di Sidratul Muntaha, suatu tempat diatas langit ketujuh. Berbeda dengan kewajiban-kewajiban yang lain seperti puasa, zakat, haji dan lain-lain yang diterima melalui perantaraan malaikat Jibril.
 

Karena pentingnya shalat itu, maka Nabi Muhammad pada setiap kesempatan selalu menegaskan dengan sabdnya “Shalat itu adalah tiang agama, barangsiapa yang melaksanakan shalat berarti ia menegakkan agama, dan siapa yang melalaikannya, maka ia meruntuhkan agamanya”. Berikut firman Allah “Sesungguhnya shalat akan mencegah perbuatan hina dan tercela" (Q.S.Al-Ankabut : 45).

Palu, 27 Juni 2011 M/ 25 Rajab 1432 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar