Rabu, 08 April 2015

Tinombo Titik Khatulistiwa

Tugu Khatulistiwa Tinombo
I. Sekilas tentang Khatulistiwa

Garis khatulistiwa membentang melingkar ditengah-tengah dan membelah bumi dua bagian yang sama yaitu belahan utara dan belahan selatan. Garis Khatulistiwa ini melewati 5 negara di benua Afrika (Zaire, Gabon, Kenya, Somalia dan Uganda). Di Amerika 4 negara (Brazil, Equador, Peru, Colombia). Di Indonesia 7 Provinsi (Sumatra Barat, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua dan Sulawesi Tengah).


Dalam tata surya, matahari mengalami apa yang disebut kulminasi atau ekinoks, yaitu matahari tepat berada di wilayah khatulistiwa. Dalam kurun waktu 12 bulan terjadi 2 kali ekinoks (Maret dan September). Terjadinya ekinoks merupakan akibat dari gerak semu mata hari (seolah-olah matahari bergerak sepanjang tahun). Pada tanggai 21 Juni, matahari berada di belahan bumi utara dan tanggal 23 September matahari tepat di garis khatulistiwa. Selanjutnya, 22 Desember bergeser ke posisi belahan selatan dan 21 Maret matahari kembali ke kawasan khatulistiwa. Setiap 21 Maret dan 23 September seperti hari Minggu kemarin, orang dalam keadaan berdiri di Tinombo, di Palu dan sekityarnya dapat menyaksikan pada pukul 12.00 dimana matahari berada persis diatas kepala sehingga bayang-bayang kita hampir tidak ada, beda pada bulan-bulan lain.

Terjadinya gerak semu disebabkan bumi mengalami dua gerakan sekaligus, yakni berotasi pada sumbunya dan berevolusi terhadap matahari. Sumbu rotasi bumi tidak tegak lurus terhadap sumbu evolusi, tapi memiliki kemiringan 23,5 derajat. Karena itu bagian bumi yang diterangi matahari berbeda-beda selama setahun. Maret hingga September lebih banyak menerangi bumi belahan utara daripada selatan, kemudian September sampai Maret terjadi sebaliknya. Dengan kemiringan ini pula penyebab terjadinya perubahan posisi hilal (bulan Sabit) awal Ramadhan/Syawal setiap tahun yang memicu perbedaan saat memulai berpuasa atau berlebaran.

Gerak semu juga berakibat terbentuknya 4 musim, yaitu musim dingin, gugur, semi dan musim panas. Saat terjadi ekinoks (matahari berada di garis khatulistiwa), siang dan malam sama panjangnya di seluruh permukaan bumi. Olehnya itu orang yang hidup di wilayah khatulistiwa, termasuk di Tinombo Sulawesi Tengah siang dan malam sama lamanya (12 Jam) kalaupun ada selisih paling 5- 20 menit. Beda dengan yang tinggal di kawasan utara atau selatan. Di musim dingin, orang Eropa merasa malam lebih panjang daripada siang, sementara orang Australia merasa siang lebih lama, bahkan di bagian kutub (utara/selatan) kadang-kadang matahari hanya nampak beberapa jam lalu terbenam lagi.

Khusus di Indonesia, karena ekinoks terjadi dua kali (Maret dan September), akibatnya negeri kita yang dilalui garis khatulistiwa menerima energi matahari yang melimpah sepanjang tahun. Energi panas ini bermanfaat untuk menggerakkan atmosfer secara global keseluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara khatulistiwa yang nenjadi pusat pertumbuhan awan dan pembentukan hujan seluruh dunia, makanya ia berpotensi memiliki curah hujan yang tinggi. Tiga negara khatulistiwa yang atmosfernya mengalami proses pemanasan dan pembentukan awan yang sangat aktif ialah Indonesia, Afrika Tengah dan Amerika Selatan.
Karena Indonesia berada di antara dua benua dan dua samudra menjadi pemicu ter bentuknya angin musiman yang menyebabkan terjadinya dua musim, yaitu kemarau dan musim hujan. Selain itu, ekinoks juga berpengaruh langsung pada pola curah hujan yang berbeda dengan curah hujan di daerah lain yang tidak dilalui garis khatulistiwa.

II. Tugu Khatulistiwa Tinombo
 
Titik khatulistiwa di Sulawesi Tengah berada di Desa Siney, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong sekitar 160 Km sebelah utara Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk menandai titik ini, maka dibangunlah suatu monumen/tugu dengan ketinggian 7 meter dari permukaan tanah. Menurut Petrus, S.Pd (guru SMPN Torue), Monumen itu dibangun tahun 1996 dan diresmikan oleh wakil Presiden Try Soetrisno pada tahun itu juga. Sebenarnya, bangunan tugu khatulistiwa tersebut bukan untuk pertama kalinya karena sudah pernah dibuat sebelumnya oleh pemerintah Belanda seputar tahun 1920-an kira-kira hampir bersamaan dengan pembangunan tugu/monumen khatulistiwa di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat tahun 1928.


Sebelum merenovasi tugu bikinan Belanda itu terlebih dahulu dilakukan pengukuran dengan cermat di lokasi tugu. Secara satelit, ternyata ada perbedaan dari posisi asli. Hal ini terjadi karena faktor akurasi, alat dan cara yang digunakan pada waktu itu. Dengan demikian bangunan tugu yang baru harus bergeser sekitar 300 meter dari bangunan lama.

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak masyarakat dan Pemda Kabupaten Moutong kiranya bangunan Tugu/Momumen Katulistiwa itu dapat dipelihara dan dilestarikan keberadaannya sebagai aset daerah yang unik dan sangat berharga. Hanya 10 negara di dunia dan tujuh provinsi di Indonesia yang dilewati garis khatulistiwa. Bahkan, sebaiknya area Monumen di desa Siney Tinombo ini dapat dikelola untuk dijadikan salah satu obyek wisata di kawasan Teluk Tomini. Dengan pengelolaan yang profesional akan mengundang wisatawan domestik dan mancanegara sehingga penduduk setempat dapat meningkat kesejahteraanya dari hasil penjualan makanan/minuman plus souvenir khas Sulawesi Tengah. Himbauan ini diilhami dari hasil tur penulis ke Tugu Khatulistiwa Pontianak Kalimantan Barat beberapa waktu yang lalu.

Palu, 23 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar