Selasa, 30 Oktober 2018

Musibah Super Dahsyat di Palu (Khutbah Jum’at 19 Oktober 2018)


Gempa Bumi 28 September 2018/17 Muharram 1440 pukul 18.00 membawa duka yang mendalam. Gempa dengan kekuatan 7,4 SR terjadi di dasar laut Kabupaten Donggala pada kedalaman 10 km. Gempa disebabkan patahan atau lempengan batuan bergeser dan saling bertumbukan. Karena kejadiannya di dasar laut, maka muncullah gelombang air laut (Tsunami). Dampak lain dari gempa itu ialah  karena goncangannya sangat keras sehingga tanah yang berada  di jalur lempengan itu mencair menjadi lumpur (Liquifaksi).

Fenomena alam ini bukan hanya luar biasa, tapi sungguh sangat Luar Biasa. Biasanya bencana seperti itu hanya satu atau dua pembunuh, gempa saja atau tsunami saja atau karena gempa dan tsunami yang membawa korban jiwa dan materi. Bencana di Aceh 26 Desember 2004 yang menelan korban 230.000 jiwa (Indonesia/Negara tetangga) pembunuh utamanya hanya satu yaitu tsunami, demikian juga di Lombok NTB tgl 5 Agustus 2018 kemarim yang membawa korban 80 jiwa ialah hanya gempa bumi… Tapi di Sulawesi Tengah, khususnya di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala ada 3 sang pembunuh sekaligus dalam waktu yang bersamaan, yakni Gempa, Tsunami Dan Liquifaksi. Ketiga jenis pembunuh itu mempunyai tingkat penyelamatan dan evakuasi yang berbeda.

 
Perumnas Balaroa setelah bencana alam gempabumi dan liquifaksi

Kalau Gempa Bumi, kita bisa menghindar dengan keluar dari rumah, kalau tertindih reruntuhan bangunan atau pepohonan masih bisa digali dan dievakuasi karena diketahui lokasinya, demikian juga Tsunami, bisa menghindar dengan pergi ke tempat yang lebih tinggi. Kalau toh hanyut terseret gelombang air, dapat dicari dimana terdampar karena tahu arah gelombang itu. Tapi Liquifaksi; manusia tidak sempat menghindar karena munculnya secara tiba-tiba, mereka terseret hanyut di lumpur lalu tercebur/tertelan ke dalam perut bumi, susah dan tidak akan ditemukan, lagi pula tidak diketahui posisi keberadaannya.

Liquifaksi dalam bahasa Bugis dinamai “Malebbo’” dan bahasa Kailinya “Nadolo” artinya tercebur/tersedot ke dalam lumpur. Kejadian seperti ini jarang terjadi di Indonesia bahkan di luar negeri sekalipun. Jenis pembunuh yang ketiga ini melanda Kelurahan Petobo Palu Selatan, Kelurahan Balaroa Palu Barat dan Desa Jono Oge Sigi Biromaru. Dalam waktu sekejap dapat menghancurkan, meluluhlantakkan dan menenggelamkan pemukiman yang padat penduduk. Ratusan rumah bersama penghuninya terkubur hidup-hidup, jalan beraspal sekitar 2 km terbawa lumpur lebih 10 meter, tanaman kelapa, pisang, jagung dan lain-lain hanyut berpindah ke tempat lain.

 
Kelurahan Petobo setelah bencana alam gempabumi dan liquifaksi

Selain korban akibat liquifaksi, tsunami juga menelan banyak korban jiwa. Dapat dibayangkan…sepanjang pantai Talise dari Bumi Bahari hingga Kampung Nelayan (5 km) setiap malam penjual dan pengujung cukup ramai, terlebih lagi pada malam kejadian itu saat akan dimulainya Pestival Palu Nomoni. Ketika terjadinya gempa pukul 18.00, hanya berselang 6 menit muncul gelombang tsunami, hanya dalam hitungan menit dapat memporak prandakan apa saja yang ada di sepanjang pantai termasuk stasiun pemancar TVRI dan jembatan kuning sebagai jembatan kebanggaan masyarakat Palu serta menyeret seribuan manusia, panitia pelaksana, peserta, petugas keamanan, penjual dan pengunjung… semuanya tersapu bersih tanpa tersisa.

Gelombang tsunami yang menerjang teluk palu ketinggiannya bervariasi antara 2,2 – 11,3 meter, tergantung topografi wilayah yang dilalui, itulah sebabnya ada lokasi yang sangat parah ada juga tidak. Titik tertinggi 11,3 meter menerjang pantai Talise, Tondo/Mamboro sampai Wani Kabupaten Donggala. Dapat dibayangkan sebuah kapal besi seberat 500 ton dan kapal-kapal kecil lainnya terseret naik ke badan jalan beraspal. 
 
Adapun goncangan gempa, tidak banyak membawa korban meninggal dunia, hanya menghancurkan sejumlah rumah, hotel/restoran, pusat perbelanjaan, tempat ibadah, fasilitas kesehatan/pendidikan serta sarana/pra sarana jalan. Sampai batas waktu pencarian dan evakuasi berakhir tanggal 11 Oktober 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 2.091 meninggal dunia, 671 hilang, 10.679 luka-luka, dan 67.310 rumah rusak berat/tertimbun.

Bersasarkan penelitian LIPI dan ITB Bandung tentang Kerentanan Palu terhadap Gempa dan Tsunami telah disosialisasikan sejak tahun 1970-an dan merekomendasikan kepada Pemda agar tidak mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) lebih dari 3 tingkat/3 lantai. Para peneliti menamai area ini sebagai sesar “Palu Koro” yaitu patahan atau lempengan-lempengan yang melintasi Teluk/Lembah Palu Sulawesi Tengah sampai ke Koro Teluk Bone Sulawesi Selatan sepanjang 1000 km. Palu Koro ini adalah zona rawan gempa dan berpotensi tsunami.

Terlepas dari teori ilmiah dan hasil penelitian ahli geologi dan arkeologi tentang gempa, kita sebagai orang beragama harus percaya bahwa Allah swt juga memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan – Nya. Bila Allah menurunkan bencana, ada 3 kepastian. Apakah hanya ujian, hanya peringatan atau memang Azab. Bagi orang yang beriman dan taat beribadah, itu sifatnya adalah ujian, kalau meninggal dunia ia tergolong mati syahid, insya Allah akan masuk surga. Bagi mereka yang malas, meremehkan panggilan adzan untuk shalat dan melakukan perbuatan dosa, itu adalah peringatan. Kalau masih hidup, mudah-mudahan ia kembali sadar, rajin beribadah dan menjauhi larangan Allah swt. Dan buat mereka yang ingkar, memandang enteng ajaran Islam serta melakukan perbuatan syirik, berarti dapat dipastikan itu adalah Azab. Sekiranya mereka masih hidup dan selamat dari bencana ini, mudah-mudahan mau bertaubat, mengakui kesalahan dan memurnikan aqidahnya dari kesyirikan yang menyekutukan Allah swt.

Umat Islam pada umumnya berada pada 3 golongan ini , khususnya kita di Kota Palu, Sigi dan Donggala. Banyak diantara kita yang taat beribadah, rajin shalat berjamaah di masjid, namun tidak sedikit juga mengerjakan kedhaliman dan kemaksyiatan seperti perjudian, pencurian, pembunuhan, prostitusi/perzinaan, minuman keras/narkoba, kesyirikan dan lain-lain. Dengan dalih untuk menolak bala’, mendatangkan keberkahan serta  demi menghidupkan Adat Leluhur, mereka melakukan praktek kesyirikan secara terbuka dan terang-terangan di Teluk Palu.
 
Musibah yang menimpah kota Palu dan sekitarnya, orang mengkaitkan dengan pelaksanaan Festival Palu Nomoni. Banyak komentar, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan yang bernada mengecam dan menyesali kegiatan itu. Mereka mengatakan  bahwa pesta dengan persembahan hewan dan berbagai macam makanan adalah pemicu terjadinya Bencana.

Perlu diketahui bahwa Pengobatan Balia dan persembahan sesajen berupa hewan (kerbau/kambing) plus makanan memang pernah ada dan dipercaya oleh suku Kaili, tapi itu adalah adat pra Islam. Setelah agama Islam datang abad ke 17 yang dibawa oleh Dato Karamah lalu dikembangkan oleh Guru Tua SIS Al-Jufri persembahan yang berbau syirik itu dilarang. Namun 3 tahun terakhir, adat tradisi ini kembali dihidupkan dan dikembangkan bahkan dilombakan. Kegiatan Palu Nomoni bersama semua rangkaiannya pada awalnya bukan hanya sebatas adat pengobatan non medis dan seni, tetapi termasuk ibadah ritual dengan dasar  Animisme/Dinamisme yang percaya kepada Roh-Roh. Itulah bentuk penyembahan nenek moyang kita sebelum mereka beragama Islam.

Rupanya musibah tanggal 28 September lalu tidak terjadi secara kebetulan, tapi karena ulah perbuatan kita, maka Allah memperlhatkan kekuasaan-Nya sekaligus bukti kemu’jizatan Al-qu’an. Secara matematis tgl 28 bulan 9, kalau dijumlah 28 + 9 = 37... itu merujuk pada ayat 37 (Al-Ankabut), Allah berfirman yang artinya   “Karena mereka mendustakan kenabian Syu’aib, lalu Kami limpahkan gempa yang dahsyat, jadilah mereka mayat-mayat bergelimpangan di pemukimannya sendiri” Bukan hanya surah Al-Ankabut, tapi juga ayat ke 37 (Al-Furqan) Allah berfirman : “Kami binasakan umat Nabi Nuh karena mengingkari Rasul-Rasul Kami, Kami cebur/tenggelamkan mereka supaya menjadi pelajaran buat yang lain serta Kami berikan azab yang berat bagi orang-orang yang dhalim/melampaui batas”
                             
Pada surah Al-Qashash (81) juga dijelaskan : “Karena kesombongan atas kekayaannya, maka Kami tenggelamkan Qarun ke dalam bumi bersama rumah dan semua yang ia miliki”

Sekaitan dengan ayat-ayat ini, Nabi kita Muhammad Saw menjelaskan atas pertanyaan Ummu Salamah “Apakah bumi ini akan ditenggelamkan pada hal masih ada orang shaleh yang taat beribadah? Baginda jawab; jika penduduknya sudah banyak melakukan kema’syiatan dan kemusyrikan” (HR : At-Thabrani)

Marilah kita mengambil I’tibar dan pelajaran dari musibah ini dengan mempertebal keimanan, memperbanyak amal shaleh dan menjauhi kesyirikan. Perbuatan dalam bentuk persembahan, pemberian sesajen dan meminta pertolongan selain Allah swt adalah Syirik dan dosa besar. Allah swt tidak akan pernah mengampuni sebelum ia menghentikan perbuatan syiriknya itu.

Gempa Bumi adalah suatu kepastian dan punya siklus pengulangan, hanya tidak ada yang tahu berapa lama durasinya akan terulang lagi, mungkin 100 tahun, 50 tahun, 25 tahun atau boleh jadi lebih cepat  manakala penduduk setempat tidak mau sadar akan berbuatan dosanya. Hadirin …. Jamaah jum’at yang saya muliakan …

Semoga kita yang masih hidup….terhindar dari maut ini tidak akan meliha lagi, mengalami dan  merasakan  bencana seperti yang terjadi 28 September 2018,  Amien !!!

Khatib Masjid Al-Mukminun
Palu, 8 Safar 1440/19 Oktober 2018
Hasan  La Ewang