Sabtu, 08 November 2014

Korupsi dan Dampak Psikologisnya Terhadap Keluarga

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyelesaikan masa jabatannya dan digantikan oleh Joko Widodo tanggal 20 Oktober 2014. Beliau menjabat sebagai Presiden RI selama dua priode (10 tahun) berturut-turut. Salah satu program SBY saat kampanye Capres tahun 2004 ialah Pemberantasan Korupsi. Tapi sampai akhir pemerintahannya 2014 ini belum juga ada tanda-tanda yang menggembirakan dari janjinya itu, meski sudah dibentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan dan Hakim Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) dan berbagai Institusi/Aliansi untuk memberantas korupsi. Namun, mahluk imajiner itu tetap merajalela menggorogoti hampir semua level persendian pemerintahan dari pusat sampai ke pedesaan, tidak terkecuali instansi yang mengemban misi kejujuran dan kebenaran dengan slogan “Ikhlas Beramal” bahkan dikalangan akademisi yang semestinya mengabdi untuk membentuk SDM yang berkualitas, turut menjadi lahan subur korupsi.

Dari fenomena tersebut, timbul pertanyaan, apa yang salah di negeri yang tercinta Indonesia ini? Ada kesan, Tatanan Kenegaraan, Sistem/Peraturan Perundang-undangan, Pengawasan dan Penegakan Supermasi Hukum malah menjadikan rawan dengan tindak pidana korupsi, baik dalam bentuk mengambil sendiri uang negara (Korupsi) maupun menerima uang rakyat (Suap). Hingga akhir pemerintahan SBY- Boediono tidak kurang dari 300 pejabat negara yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, bukan saja dari kalangan Eksekutif dan Legislatif tapi juga dari Yudikatif (Jaksa. Hakim dan Polisi).

Sistem/Peraturan yang seharusnya dijadikan acuan membangun negara, tapi yang terjadi justru memberi peluang korupsi makin berkembang dan berada pada posisi yang sangat parah saat ini. Seseorang yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau kandidat kepala daerah tidak berniat mengambil yang bukan haknya. Ternyata setelah duduk di kursi empuk dan posisi strategis mereka melihat banyak potensi/peluang dari sistem peraturan itu untuk menyalahgunakan wewenang dengan mempermainkan anggaran negara memperkaya diri dan keluarga.

Seorang pejabat atau penguasa dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu sistem/aturan yang digunakan dan moral/ karakter pejabat itu sendiri. Bisakah dengan sistem yang buruk menghasilkan sesuatu yang baik? Rasanya sulit, bahkan mustahil. Kalaupun pejabat/penguasa itu bermoral baik tapi ketika menjalankan sistem/aturan yang buruk, maka maksimal ia hanya bisa mengurangi keburukan sistem itu, sementara hasilnya tetap tidak baik dan tidak maksimal.

Dan yang paling mengecewakan masyarakat selama ini ialah sistem peradilan. Banyak koruptor yang telah di vonis hukuman penjara pada Tingkat Pengadilan Negeri karena memang terbukti perbuatannya, tapi kenapa diberi kesempatan naik Banding sampai ketingkat Kasasi. Pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi dan Kasasi di Mahkamah Agung, disinilah para Koruptor terpidana itu menempuh berbagai cara, baik melalui jalur politik maupun calo-calo hukum alias Mafia Peradilan. Mereka berusaha sekuat tenaga dan bersedia berkorban habis-habisan asal dapat diputus Bebas dan tidak dipenjara. .

Siapapun presiden, jika sistem, peraturan dan undang-undang tidak diperbaiki, pengawasan tidak diperketat dan Sanksi Hukum tidak diperberat, maka korupsi tidak akan pernah dapat diberantas dan Indonesia tetap pada pringkat atas dalam hal korupsi. Penulis menaruh harapan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla bersama anggota DPR RI priode 2014-2019 untuk meninjau kembali, merevisi dan memperbaiki sistem / peraturan yang memberi peluang korupsi kepada pejabat pengguna anggaran negara (APBN. APBD/DAU dan DAK).

Dampak Psikologis terhadap Keluarga

Koruptor yang dijatuhi hukuman penjara pada tingkat pertama tapi tidak mampu membiayai pengadilan dan tidak tersedia dana membayar pengacara ketingkat banding dan kasasi, terpaksa menerima putusan itu dan harus dieksekusi masuk penjara dengan perasaan malu dan penderitaan lahir batin yang luar biasa, baik selama dalam penjara maupun setelah bebas. Di dalam penjara ia tersiksa karena menjalani sanksi hukum, setelah keluar ia menerima sanksi sosial dari masyarakat. Kekejaman sanksi sosial tidak ada batas waktunya, bisa jadi seumur hidup. Beda dengan orang yang dipenjara karena membunuh demi mempertahankan kehormatan dan harga diri (siri’). Dalam penjara ia ditakuti sesama nara pidana, setelah keluar disegani masyarakat. Tapi Koruptor, walau sudah dilepas dari penjara, namun ia tetap merasa tersisih dan terbatas dalam intraksi sosial. Harga diri, kewibawaan dan makna hidup terasa tidak ada lagi, sudah Matisuri. Hidup Segan, Mati Tak Mau. Orang Bugis bilang “ Mate Lebo Tana “ Demikian juga terhadap keluarga dan kerabat, akan memberi dampak psikologis yang besar.

Isteri yang pernah menikmati hasil korupsi suaminya terpaksa juga turut menanggung beban moral. Dulunya ceria, penuh percaya diri tampil mengikuti semua kegiatan kemasyarakatan, kini menjadi hilang semangat dan martabatnya serta tersisih dari pergaulan. Begitu juga anak-anak mereka, akan merasa malu beradaptasi dengan teman-temannya, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Akibatnya, akan mempengaruhi prestasi dan minat belajar, bahkan boleh jadi mereka putus sekolah dan lari keperbuatan yang tidak diinginkan ( Narkoba, Miras dll ). Kalaupun anak itu berhasil dalam pendidikan, mereka akan terhambat lagi memperoleh kesempatan untuk menempati posisi strategis karena orang tuanya tercoreng sebagai bekas nara pidana korupsi. Camkan ! Jangan sampai masa depan anak-anak kita menjadi suram tidak menentu gara-gara perbuatan orang tuanya. Mereka dilahirkan untuk kebanggaan orang tua dan keluarga. (Palu , 22 Oktober 2014)