Bundaran Kota Ampana |
Ide pembentukan Provinsi Sulawesi Timur terlepas dari Provinsi
Sulawesi Tengah sudah lama diwacanakan tapi terbentur pada persyaratan yang
diperlukan yaitu harus didukung minimal 5 kabupaten, sementara yang ada baru dua
(kabupaten Poso dan Banggai). Mereka mengerti bahwa dengan pemekaran wilayah akan
membuka kesempatan seluas-luasnya, menggali dan memanfaatkan potensi daerah
dalam upaya peningkatan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
Berkat gerakan reformasi
yang meruntuhkan rezim orde baru 1998 memberi peluang membuka keran pemekaran
sehingga banyak daerah provinsi dan kabupaten di Indonesia mengalami pemekaran,
termasuk di Sulawesi Tengah. Kabupaten yang pertama-tama mekar tahun 1999 ialah
Poso melahirkan Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai
dan Kabupaten Buol yang berpisah dari Tolitoli.
Sejak lahirnya kembar 3 kabupaten tersebut,
wacana pembentukan Provinsi Sultim menjadi marak dibicarakan dan mendapat
respon dari masyarakat karena persyaratan yang diperlukan sudah terpenuhi
(konon Buol mau bergabung dalam Sultim). Sebagai tindak lanjut ialah membentuk
Tim Pemekaran yang mempersiapkan berkas administrasi kemudian meminta
persetujuan dari eksekutif dan legislatif. Atas restu dan rekomendasi DPRD dan Gubernur
Sulawesi Tengah (HB. Paliuju) disusunlah Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pembentukan Provinsi Sulawesi Timur, selanjutnya dibawa ke DPR RI untuk
dibahas. Saat disidangkan, anggota DPR Pusat tidak melanjutkan pembahasannya
karena tidak ada ibukota provinsi yang pasti, Poso atau Luwuk. Untuk itu
terpaksa di-pending sampai sekarang. Mereka menghindari peristiwa tidak terulang
kembali seperti pada pembentukan Kabupaten Morowali dan Banggai Kepulauan
karena persoalan ibukota.
Dalam UU No. 51/1999 tentang
pembentukan 3 kabupaten itu disebutkan, ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan
berkedudukan di Banggai. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 tahun,
kedudukan ibukota dipindahkan ke Salakan. Selanjutnya, ibukota Kabupaten Morowali
berkedudukan di Bungku. Sementara menunggu kesiapan prasarana dan sarana yang
memadai, ibukota sementara ditetapkan di Kolonodale, dan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 5 tahun, ibukota Kabupaten Morowali yang definitif
difungsikan. Ketika akan dipindahkan ibukota dua kabupaten ini terjadi
ketegangan dan bentrok fisik diantara masyarakat dari kabupaten pemekaran
tersebut. Oleh karena itu DPR RI tidak mau tergesa-gesa memutuskan/menetapkan
RUU Pembentukan Provinsi Sultim sebelum adanya kesepakatan ibukota provinsi
baru itu.
Aspirasi dan harapan
masyarakat untuk mewujudkan Sultim semakin kuat setelah terbitnya undang-undang
pembentukan Kabupaten Tojo Unauna (2003), berikut Kabupaten Morowali Utara dan
Kabupaten Banggai Laut (2013). Berarti
sudah 8 kabupaten pendukung, dan jika seandainya Poso dan Buol menarik diri, persyaratan
tetap memungkinkan pembentukan suatu provinsi tersendiri. Yang menjadi kendala
dan belum ada titik temunya selama 14 tahun ini ialah karena ada dua kabupaten yang ngotot ingin
menjadi ibukota Sultim yaitu Poso dan Banggai. Tarik menarik dua kabupaten ini
didasari atas pemikiran dan argumentasi yang cendrung subyektif, Masyarakat
Poso mengatakan bahwa Poso adalah bekas Kerajaan dan pernah menjadi pusat
pemerintahan Sulawesi Tangah pada masa penjajahan, sedangkan masyarakat Banggai
berkata wilayah Luwuk mengandung banyak potensi sumber daya alam berupa tambang
migas, emas, nikel, batubara dan lain-lain yang dapat mendukung percepatan
proses pembangunan daerah.
Ampana ibukota Sulawesi
Timur
Secara obyektif dan dilihat dari letak
geografis, ibukota Sultim di Poso tidak pas karena relatif dekat (200 km) dari
Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah sehingga masyarakat Banggai dan Morowali
tidak merasa adanya upaya mendekatkan pelayanan di tingkat provinsi, demikian halnya
kalau di Luwuk juga tidak tepat, malah masyarakat Bungku/Morowali tambah jauh (800
km) ke kota provinsi karena harus memutar
melewati Tentena – Pagimana. Terlebih
lagi karena areal/wilayah Luwuk sempit, dekat laut dan gunung tentunya sangat
terbatas dikembangkan sebagai kota provinsi untuk jangka panjang ke depan.
Berdasarkan kenyataan dan
pertimbangan tersebut, maka penulis menawarkan solusi bahwa yang paling tepat
dan strategis sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Timur ialah AMPANA. Ampana, ibukota Kabupaten Tojo
Unauna merupakan hamparan daratan yang cukup luas dan datar, jauh dari gunung.
Posisi dan luasnya kurang lebih sama dengan wilayah kota Makassar Sulawesi
Selatan. Bisa membangun sarana/prasarana dan dapat dikembangkan secara leluasa.
Penulis teringat filosofi Walikota Makassar M. Dg. Patompo (th.1975). Dengan
penuh semangat beliau mengatakan “Siapa menguasai Makassar berarti ia menguasai
Indonesia bagian Timur .... Kota Makassar bagaikan Roti Diapon … makin ditekan
makin melebar". Memang terbukti, Makassar sejak itu mengalami perkembangan
pesat, melebar dan meluas sampai memasuki wilayah Kabupaten Maros.
Kalau Ampana dijadikan
ibukota Provinsi Sulawesi Timur (Sultim), pusat pemerintahan dan perekonomian, bisa
membangun berbagai sektor/infrastruktur secara bebas karena areanya luas dan datar ketimbang kalau ibukotanya di Luwuk, bahkan lapangan terbangnya bisa
ditingkatkan menjadi bandara bertaraf internasional seperti daerah-daerah
provinsi lainnya di Indonesia. Biarlah Poso dijadikan Kota Wisata dengan Danaunya dan Luwuk sebagai Kawasan Industri dan Pertambangan
dengan sumber daya alamnya. Yang penting Provinsi Sulawesi Timur segera
terwujud. Semoga !!! (Palu, 17 Maret 2015)