Gempa Bumi 28 September 2018/17 Muharram 1440
pukul 18.00 membawa duka yang mendalam. Gempa dengan kekuatan 7,4 SR terjadi di
dasar laut Kabupaten Donggala pada kedalaman 10 km. Gempa disebabkan patahan
atau lempengan batuan bergeser dan saling bertumbukan. Karena kejadiannya di
dasar laut, maka muncullah gelombang air laut (Tsunami). Dampak lain
dari gempa itu ialah karena goncangannya
sangat keras sehingga tanah yang berada
di jalur lempengan itu mencair menjadi lumpur (Liquifaksi).
Fenomena alam ini bukan hanya luar
biasa, tapi sungguh sangat Luar Biasa. Biasanya bencana seperti itu hanya satu
atau dua pembunuh, gempa saja atau tsunami saja atau karena gempa dan tsunami
yang membawa korban jiwa dan materi. Bencana di Aceh 26 Desember 2004 yang
menelan korban 230.000 jiwa (Indonesia/Negara tetangga) pembunuh utamanya hanya
satu yaitu tsunami, demikian juga di Lombok NTB tgl 5 Agustus 2018 kemarim yang
membawa korban 80 jiwa ialah hanya gempa bumi… Tapi di Sulawesi Tengah,
khususnya di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala ada 3 sang
pembunuh sekaligus dalam waktu yang bersamaan, yakni Gempa, Tsunami Dan
Liquifaksi. Ketiga jenis pembunuh itu mempunyai tingkat penyelamatan dan
evakuasi yang berbeda.
Kalau Gempa Bumi, kita bisa
menghindar dengan keluar dari rumah, kalau tertindih reruntuhan bangunan atau
pepohonan masih bisa digali dan dievakuasi karena diketahui lokasinya, demikian
juga Tsunami, bisa menghindar dengan pergi ke tempat yang lebih tinggi. Kalau
toh hanyut terseret gelombang air, dapat dicari dimana terdampar karena tahu
arah gelombang itu. Tapi Liquifaksi; manusia tidak sempat menghindar karena
munculnya secara tiba-tiba, mereka terseret hanyut di lumpur lalu tercebur/tertelan
ke dalam perut bumi, susah dan tidak akan ditemukan, lagi pula tidak diketahui
posisi keberadaannya.
Liquifaksi dalam bahasa Bugis dinamai
“Malebbo’” dan bahasa Kailinya “Nadolo” artinya tercebur/tersedot ke dalam
lumpur. Kejadian seperti ini jarang terjadi di Indonesia bahkan di luar negeri
sekalipun. Jenis pembunuh yang ketiga ini melanda Kelurahan Petobo Palu
Selatan, Kelurahan Balaroa Palu Barat dan Desa Jono Oge Sigi Biromaru. Dalam
waktu sekejap dapat menghancurkan, meluluhlantakkan dan menenggelamkan
pemukiman yang padat penduduk. Ratusan rumah bersama penghuninya terkubur
hidup-hidup, jalan beraspal sekitar 2 km terbawa lumpur lebih 10 meter, tanaman
kelapa, pisang, jagung dan lain-lain hanyut berpindah ke tempat lain.
Selain korban akibat liquifaksi,
tsunami juga menelan banyak korban jiwa. Dapat dibayangkan…sepanjang pantai
Talise dari Bumi Bahari hingga Kampung Nelayan (5 km) setiap malam penjual dan
pengujung cukup ramai, terlebih lagi pada malam kejadian itu saat akan
dimulainya Pestival Palu Nomoni. Ketika terjadinya gempa pukul 18.00, hanya berselang
6 menit muncul gelombang tsunami, hanya dalam hitungan menit dapat memporak
prandakan apa saja yang ada di sepanjang pantai termasuk stasiun pemancar TVRI
dan jembatan kuning sebagai jembatan kebanggaan masyarakat Palu serta menyeret
seribuan manusia, panitia pelaksana, peserta, petugas keamanan, penjual dan
pengunjung… semuanya tersapu bersih tanpa tersisa.
Gelombang tsunami yang menerjang
teluk palu ketinggiannya bervariasi antara 2,2 – 11,3 meter, tergantung
topografi wilayah yang dilalui, itulah sebabnya ada lokasi yang sangat parah
ada juga tidak. Titik tertinggi 11,3 meter menerjang pantai Talise, Tondo/Mamboro
sampai Wani Kabupaten Donggala. Dapat dibayangkan sebuah kapal besi seberat 500 ton
dan kapal-kapal kecil lainnya terseret naik ke badan jalan beraspal.
Adapun goncangan gempa, tidak banyak membawa korban meninggal dunia,
hanya menghancurkan sejumlah rumah, hotel/restoran, pusat perbelanjaan, tempat
ibadah, fasilitas kesehatan/pendidikan serta sarana/pra sarana jalan. Sampai
batas waktu pencarian dan evakuasi berakhir tanggal 11 Oktober 2018, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 2.091 meninggal dunia, 671
hilang, 10.679 luka-luka, dan 67.310 rumah rusak berat/tertimbun.
Bersasarkan penelitian LIPI dan ITB
Bandung tentang Kerentanan Palu terhadap Gempa dan Tsunami telah
disosialisasikan sejak tahun 1970-an dan merekomendasikan kepada Pemda agar
tidak mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) lebih dari 3 tingkat/3
lantai. Para peneliti menamai area ini sebagai sesar “Palu Koro” yaitu patahan
atau lempengan-lempengan yang melintasi Teluk/Lembah Palu Sulawesi Tengah
sampai ke Koro Teluk Bone Sulawesi Selatan sepanjang 1000 km. Palu Koro ini
adalah zona rawan gempa dan berpotensi tsunami.
Terlepas dari teori ilmiah dan hasil
penelitian ahli geologi dan arkeologi tentang gempa, kita sebagai orang
beragama harus percaya bahwa Allah swt juga memperlihatkan kebesaran dan
kekuasaan – Nya. Bila Allah menurunkan bencana, ada 3 kepastian. Apakah hanya
ujian, hanya peringatan atau memang Azab. Bagi orang yang beriman dan taat
beribadah, itu sifatnya adalah ujian, kalau meninggal dunia ia tergolong mati
syahid, insya Allah akan masuk surga. Bagi mereka yang malas, meremehkan
panggilan adzan untuk shalat dan melakukan perbuatan dosa, itu adalah
peringatan. Kalau masih hidup, mudah-mudahan ia kembali sadar, rajin beribadah
dan menjauhi larangan Allah swt. Dan buat mereka yang ingkar, memandang enteng
ajaran Islam serta melakukan perbuatan syirik, berarti dapat dipastikan itu
adalah Azab. Sekiranya mereka masih hidup dan selamat dari bencana ini,
mudah-mudahan mau bertaubat, mengakui kesalahan dan memurnikan aqidahnya dari
kesyirikan yang menyekutukan Allah swt.
Umat Islam pada umumnya berada pada 3
golongan ini , khususnya kita di Kota Palu, Sigi dan
Donggala. Banyak diantara kita yang taat beribadah, rajin shalat berjamaah di
masjid, namun tidak sedikit juga mengerjakan kedhaliman dan kemaksyiatan
seperti perjudian, pencurian, pembunuhan, prostitusi/perzinaan, minuman
keras/narkoba, kesyirikan dan lain-lain. Dengan dalih untuk menolak bala’,
mendatangkan keberkahan serta demi menghidupkan
Adat Leluhur, mereka melakukan praktek kesyirikan secara terbuka dan
terang-terangan di Teluk Palu.
Musibah yang menimpah kota Palu dan
sekitarnya, orang mengkaitkan dengan pelaksanaan Festival Palu Nomoni. Banyak
komentar, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan yang bernada mengecam
dan menyesali kegiatan itu. Mereka mengatakan bahwa pesta dengan persembahan hewan dan
berbagai macam makanan adalah pemicu terjadinya Bencana.
Perlu diketahui bahwa Pengobatan
Balia dan persembahan sesajen berupa hewan (kerbau/kambing) plus makanan memang
pernah ada dan dipercaya oleh suku Kaili, tapi itu adalah adat pra Islam.
Setelah agama Islam datang abad ke 17 yang dibawa oleh Dato Karamah lalu
dikembangkan oleh Guru Tua SIS Al-Jufri persembahan yang berbau syirik itu
dilarang. Namun 3 tahun terakhir, adat tradisi ini kembali dihidupkan dan
dikembangkan bahkan dilombakan. Kegiatan Palu Nomoni bersama semua rangkaiannya
pada awalnya bukan hanya sebatas adat pengobatan non medis dan seni, tetapi termasuk
ibadah ritual dengan dasar
Animisme/Dinamisme yang percaya kepada Roh-Roh. Itulah bentuk
penyembahan nenek moyang kita sebelum mereka beragama Islam.
Rupanya musibah tanggal 28 September
lalu tidak terjadi secara kebetulan, tapi karena ulah perbuatan kita, maka
Allah memperlhatkan kekuasaan-Nya sekaligus bukti kemu’jizatan Al-qu’an. Secara
matematis tgl 28 bulan 9, kalau dijumlah 28 + 9 = 37... itu merujuk pada ayat
37 (Al-Ankabut), Allah berfirman yang artinya
“Karena mereka mendustakan kenabian Syu’aib, lalu Kami limpahkan gempa yang dahsyat, jadilah mereka mayat-mayat
bergelimpangan di pemukimannya sendiri” Bukan hanya surah Al-Ankabut, tapi
juga ayat ke 37 (Al-Furqan) Allah
berfirman : “Kami binasakan umat Nabi Nuh
karena mengingkari Rasul-Rasul Kami, Kami cebur/tenggelamkan mereka supaya
menjadi pelajaran buat yang lain serta Kami berikan azab yang berat bagi
orang-orang yang dhalim/melampaui batas”
Pada surah Al-Qashash (81) juga
dijelaskan : “Karena kesombongan atas
kekayaannya, maka Kami tenggelamkan Qarun ke dalam bumi bersama rumah dan semua
yang ia miliki”
Sekaitan
dengan ayat-ayat ini, Nabi kita Muhammad Saw menjelaskan atas pertanyaan Ummu
Salamah “Apakah bumi ini akan
ditenggelamkan pada hal masih ada orang shaleh yang taat beribadah? Baginda
jawab; jika penduduknya sudah banyak melakukan kema’syiatan dan kemusyrikan”
(HR : At-Thabrani)
Marilah kita mengambil I’tibar dan
pelajaran dari musibah ini dengan mempertebal keimanan, memperbanyak amal
shaleh dan menjauhi kesyirikan. Perbuatan dalam bentuk persembahan, pemberian
sesajen dan meminta pertolongan selain Allah swt adalah Syirik dan dosa besar. Allah
swt tidak akan pernah mengampuni sebelum ia menghentikan perbuatan syiriknya
itu.
Gempa Bumi adalah suatu kepastian dan
punya siklus pengulangan, hanya tidak ada yang tahu berapa lama durasinya akan
terulang lagi, mungkin 100 tahun, 50 tahun, 25 tahun atau boleh jadi lebih
cepat manakala penduduk setempat tidak
mau sadar akan berbuatan dosanya. Hadirin
…. Jamaah jum’at yang saya muliakan …
Semoga kita yang
masih hidup….terhindar dari maut ini tidak akan meliha lagi, mengalami dan merasakan bencana seperti yang terjadi 28 September
2018, Amien !!!
Khatib
Masjid Al-Mukminun
Palu,
8 Safar 1440/19 Oktober 2018
Hasan La Ewang