Sabtu, 20 Maret 2021

Abaikan Rukyat Menyatukan Umat Berpuasa

RAMADHAN adalah bulan ke sembilan dalam penanggalan tahun Hijeriyah. Umat Islam menyambutnya dengan penuh kebahagiaan dan kesyukuran karena masih dapat menemui bulan puasa.

Namun menjelang datangnya bulan suci itu kaum muslimin diperhadapkan dengan dilemma yang membingungkan karena sering terjadi silang pendapat antara pemerintahdan dan ormas Islam. Pemicunya ialah adanya 2 metode yang digunakan yaitu metode Rukyat dan Hisab.

Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Agama yang mengutamakan Rukyat menyebar petugas ke berbagai daerah untuk mengamati posisi hilal sebagai dasar menetapkan awal Ramadhan dalam sidang Itsbat, sementara ormas yang menganut metode Hisab menganggap tidak perlu merepotkan orang banyak hanya untuk mencari dan melihat posisi hilal. 

Organisasi masyarakat (ormas), khususnya Muhammadiyah menggunakan pendekatan Hisab Wujudul Hilal, artinya awal Ramadhan/Syawal ditetapkan berdasarkan perhitungan peredaran bulan dan matahari.

Muhammadiyah tetapkan 1 Ramadhan 1442 H pada 13 April
 

Asalkan hilal (bulan sabit) sudah berada di atas ufuk barat berapapun derajat tingginya walau tidak terlihat dengan mata/teleskop, mereka yakin dengan Ilmul yaqin bahwa hilal sudah wujud  dan Ramadhan sudah masuk, tidak perlu lagi dibuktikan dengan Ainul yaqin.

Sedangkan pemerintah dan ormas lainnya mengutamakan Rukyatul Hilal yaitu harus melihat hilal, itupun harus diukur berapa derajat tingginya yang menurut mereka minimal 2 derajat. Pada hal ayat 185 Surat Albaqarah Allah berfirman “Jika engkau melihat bulan (Ramadhan) maka berpuasalah” tanpa melihat berapa derajat. 

Adalah suatu hal yang meresahkan umat ketika ketinggian hilal kurang dari 2 derajat lalu diumumkan Ramadhan belum masuk, ternyata keesokan harinya bulan sabit nampak pada ketinggian sekitar 20 derajat. Hal ini menjadikan orang kesal dan menyesal serta merasa berdosa karena ia belum puasa.

Memang posisi hilal tidak selalu sama karena sumbu rotasi bumi tidak tegak lurus tapi punya kemiringan 23.5 derajat yang menyebabkan adanya perbedaan ketinggian hilal antara 0 – 5 derajat setiap bulan/tahun.

Hilal saat matahari terbenam
 

Tentang hadist Nabi Muhammad yang mengatakan “Allah menjadikan bulan sabit/hilal sebagai awal bulan, jika kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah dan bila melihat hilal Syawal berbukalah. Apabila pengliahatanmu terhalang maka genapkanlah 30 hari.

Ketahuilah setiap bulan tidak pernah lebih dari 30 hari” (HR.Imam Al-Hakim). Dari hadist ini dapat dipahami bahwa umat Islam pada abad ke-6 itu menggunakan Rukyat karena pengetahuan mereka masih terbatas tentang gerak gerik peredaran bumi, bulan dan matahari.

Satu-satunya rujukan ialah perintah Rasulullah Saw untuk mengamati keberadaan hilal. Tapi di abad ke-21 ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang pesat termasuk ilmu falaq/astronomi.

Dengan demikian kita tidak perlu lagi bersikukuh mempertahankan metode Rukyat, kondisinya sudah berbeda dan kita sudah berada di era teknologi digital.  

Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam mulai abad ke-8 masehi di masa Dinasti Abbasyiah (749 -1258). Khusus ilmu astronomi dirintis oleh Ibrahim Al-Fazari (th.771).

Muhammad bin Ibrahim Al Fazari - Filsuf, matematikawan, dan astronom muslim
 

Sejak itu terus mengalami perkembangan, mereka sudah dapat menciptakan teleskop/penoropong bintang, menemukan Itsbat (cara menentukan awal/akhir bulan, menyusun kalender dan lain-lain.

Dengan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli dengan perhitungan (hisab) akurat dan ketelitian yang tinggi mereka dapat memastikan terjadinya fenomena alam seperti gerhana bulan/matahari, pergantian musim, perubahan cuaca dll.

Mereka juga dapat membuat penanggalan/kalender abadi dan jadwal shalat sepanjang masa secara parallel antara bulan masehi dan hijeriah.

Kalau tidak ada niat dan upaya menyepakati satu metode, pasti sepanjang masa seumur dunia ini akan ada dilemma yang membingungkan umat saat memasuki bulan Ramadhan,  Syawal dan 10 Dzulhijjah.

Solusinya ialah pemerintah bersama ormas-ormas Islam berkomitmen/sepakat hanya menggunakan metode HISAB sehingga 1 Ramadhan, 1 Syawal, 10 Dzulhijjah ia datang dan kita terima tanpa perbedaan pendapat seperti datangnya  tahun baru 1 Muharram, 1 Januari, 17 Agustus, 12 Rabiul Awal, 27 Rajab dan lain-lain karena sudah dihitung secara cermat jauh sebelumnya.

Sidang Isbat awal Ramadhan 1440 H

 

Dengan demikian pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan dana, merepotkan petugas penoropong untuk mengamati hilal, tidak perlu lagi mengundang tokoh agama menghadiri sidang Itsbat untuk menetapkan awal Ramadhan/Syawal.

Mengutamakan  metode Hisab dan mengabaikan metode Rukyat bukan berarti melecehkan sabda Nabi Muhammad Saw, tapi demi kebersamaan, menyatukan umat memulai berpuasa dan berlebaran Idul Fitri/Idul Adha, masalahnya bukan hanya sekedar perbedaan tanpa resiko, tapi sangat perinsip dan kosekuensinya besar karena kita sudah wajib berpuasa mulai 1 Ramadhan dan haram hukumnya berpuasa pada 1 Syawal, Allahu a’lamu bissawab….

Palu. 5 Sya’ban 1442/18 Maret 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar