Keadaan kependudukan Indonesia
di masa Orde Lama yang pronatalis adalah jumlahnya besar, pertumbuhannya tinggi,
penyebaran tidak merata, kualitas yang rendah, kemiskinan merajalela dan
keterbelakangan yang jauh dari negara-negara lain. Melihat ciri-ciri kependudukan
seperti ini, maka pemerintah Orde Baru yang antinatalis membentuk lembaga / Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) melalui Keppres No. 8 tahun 1970. Keluarga Berencana (Family Planning)
adalah salah satu ikhtiar manusia dalam mengatur kehamilan dengan tidak melawan
hukum agama, undang-undang negara dan moral Pancasila.
Dalam pelaksanaannya, Program
Keluarga Berencana (KB), diarahkan pada dua sasaran, sasaran langsung dan tidak
langsung. Sasaran langsung adalah mengajak masyarakat/Pasangan Usia Subur (PUS)
menjadi peserta KB untuk mengatur jarak kehamilan dan kelahiran dengan
menggunakan alat kontrasepsi secara berkesinambungan. Sementara sasaran tidak
langsung ialah menjalin kemitraan dan komitmen dengan organisasi, instansi/institusi
pemerintan dan swasta serta unit-unit terkait yang dapat memberikan kontribusi/dukungan
terhadap proses pelembagaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS).
Dengan program Kependudukan dan Keluarga
Berencana, diharapkan pula pada suatu masa ke depan, akan terwujud apa yang
dinamakan Penduduk Tumbuh Seimbang dan Penduduk Tanpa Pertumbuhan. Untuk
mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS), terlebih dahulu harus mencapai Total
Fertility Rate (TFR), yaitu jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu selama
masa suburnya, yang dalam hal ini TFR yang diharapkan adalah 2 (dua) lebih sedikit
sebagai cadangan kematian, artinya sepasang atau sekelompok pasangan suami
isteri hanya melahirkan 2,1 sampai 2,3 anak, misalnya ; dari 100 PUS hanya akan
lahir 210 – 230 anak selama masa reproduksi pasangan tersebut.
Sebenarnya, kondisi seperti ini telah
terjadi di beberapa wilayah pada dekade 1990-an dengan TFR pada kisaran 2,1 –
2.3, antara lain Provinsi DI Yogyakarta,
Jawa Timur, DKI Jakarta, Bali dan Provinsi Sulawesi Utara. Demikian halnya
daerah-daerah lain, sudah banyak yang TFR nya kurang dari 3, dan sudah berada
di ambang pintui era PTS. Tapi sayang, keberhasilan yang diraih setelah
melalui perjuangan 30 tahun itu ambruk diterpa arus reformasi yang meruntuhkan
rezim Orde Baru 1998, menyusul diceburkannya BKKBN Kabupaten/Kota dari vertikal
masuk otonomi daerah 2003, visi misinyapun diganti dengan dalih melanggar HAM
(Hak Azasi Manusia). Dampaknya pada meningkatnya TFR menjadi 3, 2; berarti
setiap keluarga mempunyai anak 3 orang
atau lebih.
Nantinya, setelah Total Fertility Rate (TFR)
tercapai, upaya selanjutnya untuk mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS)
ialah terjadinya Net Reproduction Rate (NRR). Kondisi ini dapat diidentikkan
dengan indikator Replacement Level; yakni banyaknya anak wanita yang dapat menggantikan
ibunya pada generasi berikutnya, contoh ; kalau NRR = 2 berarti setiap wanita
akan digantikan oleh 2 orang anak wanitanya. Sedangkan PTS akan terjadi jika
NRR = 1 yaitu seorang atau sekelompok wanita akan digantikan oleh seorang atau
sekelompok anak wanitanya dalam jumlah yang sama. Atau dengan kata lain bahwa
NRR = 1 akan terjadi apabila rata-rata seorang wanita selama hidupnya hanya
melahirkan satu orang anak wanita, dan anak wanita itu akan mencapai usia
minimal seperti ibunya sewaktu ia dilahirkan.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka
dapat difahami bahwa model Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) adalah kondisi
kependudukan di suatu wilayah yang mana jumlah wanita pada suatu generasi
digantikan oleh wanita dalam jumlah yang sama pada generasi berikutnya. Namun,
karena seorang anak wanita yang akan menggantikan ibunya membutuhkan seorang
laki-laki pengganti bapaknya (sebagai suami) agar jumlah penduduk tidak
berkurang. Oleh karena itu setiap keluarga perlu memiliki 2 orang anak (catur warga).
Untuk mempertahankan kondisi
kependudukan seperti itu dan mewujudkan Penduduk Tanpa Pertumbuhan (PTP)
sebagai tujuan akhir Program KB, perlu didukung dengan tenaga pengelola/pelaksana
yang profesional, khususnya tenaga lini lapangan. Petugas lapangan/Penyuluh KB
(PLKB/PKB) sebagai pembina desa/kelurahan sangat besar peranannya dalam
meningkatkan pencapaian akseptor KB dan pembinaannya agar mereka tetap menggunakan
alat kontrasepsi secara lestari dan mandiri. Banyaknya anak bukan jaminan akan
kebahagiaan dan kesejahteraan suatu keluarga, malah justru bisa jadi merepotkan kedua
orang tua (jika tidak memiliki kesiapan yang memadai -ed). Untuk itu salah satu solusinya adalah menjadi peserta Keluarga
Berencana (KB). Melalui program KB besar kemungkinan akan menikmati
ketentraman, kebahagiaan dan kesejahteraan. Mengapa tidak? Dengan menjadi
akseptor KB secara berkesinambungan, suami isteri dapat merencanakan dan
menetapkan jumlah anak ideal yang diinginkan sesuai kemampuan ekonomi keluarga.
Ayo ikut KB ”2 Anak Cukup” laki-laki perempuan sama saja.
Palu, 15 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar