Ketika Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) DI/TII memasuki Kampung Soni, Distrik Dampal, sejak itu pula keamanan dan ketentraman masyarakat terganggu. Gerakan pengacau keamanan tersebut memperjuangkan terwujudnya Negara Islam / Darul Islam (D I) dengan menggunakan kekuatan Tentara Islam Indonesia (T I I).
Puncak kerusuhan ialah ketika pasukan pengacau dan pemberontak itu membumihanguskan semua bengunan rumah lalu menghalau seluruh penduduk masuk hutan untuk ikut bergerilya. Peristiwa yang meresahkan masyarakat ini terjadi pada tahun 1958.
Syukur, keluarga La Ewang dan beberapa keluarag yang lain tidak terlalu lama menderita dalam hutan (hanya kurang lebih 10 hari) karena berhasil lolos keluar rimba untuk selanjutnya masuk kota Toli-toli. Sementara keluarga-keluarga lainnya sudah terjebak dan tidak dapat lolos lagi karena sudah di bawah pengawasan ketat gerombolan DI/TII dan harus mendukung perjuangannya.
Di Toli-toli, keluarga La Ewang tidak terlalu menderita sebagai pengungsi karena cepat mendapat lahan pertanian berkat usaha Gowa Dg.Patompo (Pettana Sengngeng). Lahan itu adalah milik Andi Salihuddin Bantilan yang sudah jadi Kabokabo, terletak di Lantapan Distrik Galang, kurang lebih 20 km arah Utara kota Tolitoli. Karena luasnya lahan kabokabo tersebut, sehingga banyak keluarga pengungsi mendapat begian, antara lain Patompo ( Pettana Sengngeng ), Abduh ( Pettana Base ), La Ewang ( Pettana Husen), Djemain, Husen, Yusuf, Ambo Ida.dan lain-lain.
Sebelum penggarapan dimulai terlebih dahulu dibuat perjanjian di atas kertas segel antara pihak I (Pertama) sebagai pemilik lahan dengan pihak II (Kedua) selaku penggarap.
Isi perjanjian tersebut antara lain:
· Lahan akan dibagi dua antara pihak I dengan pihak II setelah digarap selama 3 tahun.
· Apabila dalam jangka waktu tiga tahun, lahan itu belum jadi sawah yang baik, maka pihak I berhak menarik kembali lahan itu tanpa dibagi dengan pihak II .
Perjanjian ini disepakati tahun 1959. Setelah, itu barulah para pekerja mulai membabat hutan yang sudah sekian lama tidak terjamah oleh manusia ( kabokabo ).
Abd. Mudjib yang tadinya mengungsi bersama mertuanya (Daeng Manenring) di Lakatan, pindah bergabung dengan orang tuanya ( La Ewang )di Lantapan setelah mengetahui bahwa orang tuanya mendapat lahan garapan untuk pertanian.
Pada mulanya, Mudjib hanya hendak membantu ayahnya mengolah lahan itu, tetapi Ibunda Fathimah mengatakan “Jangan!, Jangan!”. Kau sudah punya istri dan nanti akan punya anak (Mahirah masih dalam kandungan ibunya Hatidjah). Untuk itu, ditentukanlah bagian yang menjadi garapannya, yang diambil dari bagiannya La Ewang.
Demikianlah, dari hari ke hari, bulan ke bulan, para petani bekerja dengan semangat dan penuh harap, tiba-tiba tahun 1960, Abd. Mudjib mendapat panggilan dari Tentara resmi pemerintah supaya segera pulang ke Soni untuk menjabat sebagi Kepala Kampung Soni, menggantikan Abd. Rahman Daeng Pawellang yang sudah duluan mengungsi ke Wani Palu.
Untuk melanjutkan penggarapan lahannya itu, Mudjib mempercayakan kepada salah seorang petani dengan perjanjian hasil panennya diambil semua. Jadi praktis, Mudjib hanya satu tahun saja menggarap lahan itu / satu kali panen.
Suasana di pemukiman baru itu rasanya cukup tenteram, damai dan sejahtera dibanding dengan pengungsi-pengungsi lain, yang hanya makan ubi dan jagung..Dalam suasana aman seperti itu tanpa terduga, gerilyawan DI/TII dari Dampal melakukan ekspansi pengaruh sampai ke wilayah Distrik Galang akhir tahun 1961. Karena trauma dan takut akan terjadi seperti di Dampal dahulu, maka banyak orang yang meninggalkan perkampungan itu. Khusus La Ewang dan Khalid Bakri (anak mantu ) memutuskan untuk berangkat ke Makassar Sulawesi Selatan.
Sesuai perjanjian tahun 1959, maka pada tahun 1963 Andi Salihuddin Bantilan melakukan pembagian lahan persawahan dengan pekerja-pekerja. ( LaEwang masih di Sulawesi Selatan ). Karena garapannya La Ewang dianggap sudah memenuhi syarat, maka ia berhak memperoleh ½ (separuh) dari luas areal garapannya, sedangkan Mudjib walaupun sudah ditentukan bagiannya, namun masih ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu harus membersihkan seluruh akar-akar pohon kayu dan bambu-bambu yang masih tersisa di areal itu.
Dengan tertangkapnya Bung Rasyid sebagai gembong gerilyawan DI/TII di Sulawesi Tengah tahun 1963, keamanan berangsur-angsur pulih, para pengungsipun pada kembali ke kampung halamnnya semula, baik yang dari gunung-gunung maupun dari kota-kota. La Ewang sekeluarga kembali ke Soni akhir tahun 1964 setelah 6 tahun ditinggalkan.
Setelah beberapa tahun berada di Soni, Ibunda Fathimah dan saya (Hasan) berangkat ke Tolitoli dengan naik perahu layar (Sande) selama 20 jam untuk mengetahui dengan jelas duduk persoalannya hasil pembagian Andi Salihuddin terhadap lahan persawahan yang pernah digarap, karena terdengar berita bahwa Abd. Mudjib tidak kebagian dari lahan itu.
Pertama-tama yang ditemui ialah Gowa Dg. Patompo dan isterinya, Ramlah ( Pettana / Indona Sengngeng ) di Kalangkangan Galang (10 km dari Kota Tolitoli). Menurut Patompo/Ramlah, waktu pembagian dulu, Mudjib juga dapat bagian dari hasil kerjanya, hanya saja karena lahan itu masih banyak pohon dan akar-akar kayunya sehingga kuasa pihak Andi Salihuddin memberikan waktu kepada Mudjib untuk diolah lagi. Guna memenuhi harapan itu, Patompo yang ikut hadir saat pembagian tersebut mempercayakan kepada orang lain untuk membersihkan sisa-sisa pohon dan rumpun bambu pada area itu.
Pada tahun pertama, pekerja itu dapat mengolahnya dengan baik dan memanen padinya, tahun kedua, juga masih sempat mengolahnya, tetapi menjelang panen, pekerja itu jatuh sakit dan tidak sempat memetiknya tepat pada waktunya, sehingga kuasa Andi Salihuddin-lah yang memanennya dan pada musin tanam tahun ketiga, lahan itu telah diambil alih oleh kuasa Andi Salihuddin, dialah yang mengolah dan mengambil hasilnya, dan orang yang dipercayakan oleh Patompo tadi tidak bisa berbuat apa-apa. Sejak itulah hak Mudjib atas tanah sawah tersebut dianggap sudah tidak ada lagi, cerita Patompo dan istrinya Ramlah. Mendengar keterangan seperti itu Ibunda Fathimah tidak mau mengerti dan berkeras hendak menjajaki dan mencari orang-orang yang dianggap lebih banyak mengetahui tentang pembagian lahan itu.
Pada keesokan harinya kami bertiga (Ramlah, Fathimah, dan Hasan) mulai menelusuri dan mencari orang-orang yang bisa memberi keterangan yang diperlukan, dicarilah kepala kampung Lakatan/Lantapan, Punggawa Galung, orang yang pernah mengolah sawah itu, orang-orang yang turut hadir saat pengukuran dan pembagian sawah dan lain-lain. Waktu yang digunakan untuk mencari sumber informasi itu hampir sehari penuh, mulai start jam 07.00 pagi sampai 17.30 sore. Hal ini disebabkan rumah mereka terpencar dan berjauhan satu dengan yang lainnya. Syukur, karena orang-orang yang ditemui semuanya mengakui bahwa benar Mudjib punya bagian dari hasil keringatnya. Sebagai bukti pengakuan dan penyaksian mereka ialah semuanya menandatangani surat penyaksian yang kami siapkan.
Atas informasi dan pengaukan beberapa orang itu, Ibunda Fathimah nampak merasa lega dan puas karena sudah ada pegangan untuk menghadap kepada Andi Salihuddin. Keesokan harinya saya bersama ibunda meninggalkan Kalangkangan menuju rumahnya Abd. Rasyid Siduppa di Toli-toli untuk selanjutnya menemui Andi Salihuddin Bantilan.
Ketika akan ke rumahnya Andi Salihuddin kami diantar oleh Abd. Rasyid Siduppa sampai di halaman rumahnya. Setelah masuk rumah dan ketemu dengan Andi Salihuddin dan istrinya, ibunda mulai angkat bicara dengan mengemukakan duduk persoalannya lahan hasil garapannya Mudjib. Secara spontan Andi Salihuddin dan istrinya, Andi Lenna Bantilan mengatakan Mudjib tidak ada bagiannya karena dia tinggalkan sebelum selesai pekerjannya dan dianggap lari dari tanggung jawabnya. Ibunda menjelaskan bahwa kepergian Mudjib ke Soni waktu itu bukan kehendaknya, tetapi suatu panggilan tugas yang sifatnya terpaksa, dia dipanggil oleh Tentara untuk diangkat sebagai Kepala Kampung Soni.
Rupanya Andi Salihuddin tidak mau mengerti dengan alasan itu. Selanjutnya, ibunda mengatakan bagaimana Puang tidak mengakui, sedangkan Kepala Kampung Lantapan, Punggawa Galung, orang yang pernah mengolah lahan itu bahkan orang yang mengukur sawah itu, semuanya mengakui bahwa ada bagiannya Mudjib, iya, iya memang benar, kata Andi Salihuddin, tapi waktu itu masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh Mudjib yaitu membersihkan/menghilangkan pohon-pohon dan rumpun bambu di lahan itu, tetapi karena tidak dilaksanakan, maka saya ambil alih sesuai perjanjian yang disepakati sebelum menggarap areal itu. Ibunda mulai emosi, tetapi ia cepat sadar bahwa orang yang dihadapi ini bukan orang biasa, dia adalah Arung, Anak Raja, maka ibunda dan saya (Hasan) minta pamit pulang dengan rasa kecewa. Besok harinya kami berdua pulang ke Soni dengan numpang perahu Sandenya Pak Djohar.
Sesampai di Soni, ibunda menemui Mudjib lalu menceritakan hasil perjalanannya dalam rangka mencari kejelasan sawah miliknya. Saya sudah menemui beberapa orang yang dapat dipercaya, kata Ibunda Fathimah kepada anaknya Mudjib, dan mereka bersedia menandatangani surat ini sebagai tanda penyaksiannya atas kebenaran hakmu itu, seraya menyerahkan surat itu kepada Mudjib, Hanya saja Andi Salihuddin tidak mengakuinya dan tetap pada pendiriannya mengambil alih dan menguasai sawah itu dengan alasan Mudjib lari dari pekerjannya. Perlu diketahui bahwa bukan hanya Mudjib yang tidak memperoleh bagian, ada beberapa pekerja yang mengalami nasib yang sama dengan alasan yang sama pula.
Saat surat penyaksian tersebut diserahkan,ibunda berharap kepada Mudjib….kau bisa menuntutnya nanti, melalui pengadilan sekalipun, makanya surat ini pelihara baik-baik jangan sampai hilang atau rusak mangingat tanda tangan saksi-saksi itu sangat susah diperoleh, hampir satu hari berkeliling mencari orang-orang itu dengan jalan kaki.
Di samping karena Mudjib tidak banyak waktu untk mengurus haknya itu, di juga berpikir rasional bahwa yang akan dihadapi itu bukan orang awam, Andi Salihuddin Bantilan adalah Bangsawan, Penguasa dan punya pengaruh yang luas di Toli-toli. Bisa-bisa hanya rugi waktu, tenaga, dan biaya menuntutnya, belum tentu berhasil.
Dan sampai akhir hayatnya Abd. Mudjib tahun 1985 masalah itu tidak pernah digubris, tidak pernah diadukan dan dituntaskan sehingga lahan sawah hasil keringatnya di Lantapan kecamatan Galang diabaikan, bahakan sudah dianggap tidak pernah ada.
Surat penyaksian tersebut inilah yang kemudian oleh putranya Mudjib dijadikan dasar dan beranggapan bahwa Kavling / Kintal di Palu itu ada juga hak miliknya Bapaknya (Mudjib) karena kavling itu dibeli dari harga penjualan sawah di Lantapan sebagai pembagian dari hasil garapannya bersama Bapaknya ( La Ewang ). Dia ( putranya Mudjib ) tidak tahu bahwa Surat Penyaksian tersebut hanya sebatas penyaksian belaka dari orang-orang yang sempat ditemui, namun Andi Salihuddin Bantilan tetap pada pendiriannya tidak mengakui adanya bahagian Mudjib dari sawah itu.
Untuk bahagiannya La Ewang dari hasil olahannya sendiri, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ibunda putuskan lebih baik dijual saja, maka melalui kuasa Pamanda Abd. Razak Mahmud di Toli-toli, sawah itu berhasil terjual dengan harga satu juta rupiah, uang itulah yang kemudian digunakan membeli tanah kavling di Palu dengan ukuran 12 x 14 meter. Dan oleh Ibunda Fathimah dihibahkan sekaligus sebagai warisan kepada anaknya yang bernama Sitti Hadidjah La Ewang.
Dari alur cerita yang disusun secara kronologis ini, dapatlah disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) hal penting, sekaligus merupakan tujuan pokok dari tulisan ini, yaitu sebagai berikut:
1. La Ewang yang telah bekerja sesuai perjanjian berhak memperoleh ½ (separuh) dari hasil kerjanya.
2. Abd. Mudjib tidak memperoleh bagian dari hasil kerjanya karena tidak menepati perjanjian kerja.
3. Surat Penyaksian yang ibunda Fathimah serahkan kepada Mudjib itu adalah hanya sekedar pengakuan orang-orang yang mengetahui tentang adanya bagiannya Mudjib, tetapi Andi Salihuddin Bantilan tidak mengakuinya, bahkan telah mengambil alih semua lahan yang pernah digarap oleh Mudjib.
Berdasarkan poin 1 dan 2 di atas, dapatlah dipahami bahwa tanah persawahan di Lantapan itu adalah murni 100 % dari hasil kerjanya La Ewang sendiri, dengan kata lain tidak ada campur tangan dan hasil keringatnya Mudjib di dalamnya. Oleh karena itu tanah kavling di Palu sebagai hasil penjualan sawah tersebut, berarti juga murni 100 % miliknya La Ewang. Hanya karena pengaturan Ibunda Fathimah, maka kintal/kavling itu diberikan kepada Hadidjah sebagai warisan. .
Demikian keterangan ini sebagai data / informasi untuk meluruskan dan menghilangkan anggapan bahwa tanah kavling di Palu itu adalah hasil penjualan sawah yang digarap oleh La Ewang bersama Mudjib di Lantapan.
Kiranya anak cucunya La Ewang dapat memakluminya, khususnya ahli warisnya almarhum tercinta Abdul. Mudjib La Ewang. (Palu, 1 Januari 1996)
Puncak kerusuhan ialah ketika pasukan pengacau dan pemberontak itu membumihanguskan semua bengunan rumah lalu menghalau seluruh penduduk masuk hutan untuk ikut bergerilya. Peristiwa yang meresahkan masyarakat ini terjadi pada tahun 1958.
Syukur, keluarga La Ewang dan beberapa keluarag yang lain tidak terlalu lama menderita dalam hutan (hanya kurang lebih 10 hari) karena berhasil lolos keluar rimba untuk selanjutnya masuk kota Toli-toli. Sementara keluarga-keluarga lainnya sudah terjebak dan tidak dapat lolos lagi karena sudah di bawah pengawasan ketat gerombolan DI/TII dan harus mendukung perjuangannya.
Di Toli-toli, keluarga La Ewang tidak terlalu menderita sebagai pengungsi karena cepat mendapat lahan pertanian berkat usaha Gowa Dg.Patompo (Pettana Sengngeng). Lahan itu adalah milik Andi Salihuddin Bantilan yang sudah jadi Kabokabo, terletak di Lantapan Distrik Galang, kurang lebih 20 km arah Utara kota Tolitoli. Karena luasnya lahan kabokabo tersebut, sehingga banyak keluarga pengungsi mendapat begian, antara lain Patompo ( Pettana Sengngeng ), Abduh ( Pettana Base ), La Ewang ( Pettana Husen), Djemain, Husen, Yusuf, Ambo Ida.dan lain-lain.
Sebelum penggarapan dimulai terlebih dahulu dibuat perjanjian di atas kertas segel antara pihak I (Pertama) sebagai pemilik lahan dengan pihak II (Kedua) selaku penggarap.
Isi perjanjian tersebut antara lain:
· Lahan akan dibagi dua antara pihak I dengan pihak II setelah digarap selama 3 tahun.
· Apabila dalam jangka waktu tiga tahun, lahan itu belum jadi sawah yang baik, maka pihak I berhak menarik kembali lahan itu tanpa dibagi dengan pihak II .
Perjanjian ini disepakati tahun 1959. Setelah, itu barulah para pekerja mulai membabat hutan yang sudah sekian lama tidak terjamah oleh manusia ( kabokabo ).
Abd. Mudjib yang tadinya mengungsi bersama mertuanya (Daeng Manenring) di Lakatan, pindah bergabung dengan orang tuanya ( La Ewang )di Lantapan setelah mengetahui bahwa orang tuanya mendapat lahan garapan untuk pertanian.
Pada mulanya, Mudjib hanya hendak membantu ayahnya mengolah lahan itu, tetapi Ibunda Fathimah mengatakan “Jangan!, Jangan!”. Kau sudah punya istri dan nanti akan punya anak (Mahirah masih dalam kandungan ibunya Hatidjah). Untuk itu, ditentukanlah bagian yang menjadi garapannya, yang diambil dari bagiannya La Ewang.
Demikianlah, dari hari ke hari, bulan ke bulan, para petani bekerja dengan semangat dan penuh harap, tiba-tiba tahun 1960, Abd. Mudjib mendapat panggilan dari Tentara resmi pemerintah supaya segera pulang ke Soni untuk menjabat sebagi Kepala Kampung Soni, menggantikan Abd. Rahman Daeng Pawellang yang sudah duluan mengungsi ke Wani Palu.
Untuk melanjutkan penggarapan lahannya itu, Mudjib mempercayakan kepada salah seorang petani dengan perjanjian hasil panennya diambil semua. Jadi praktis, Mudjib hanya satu tahun saja menggarap lahan itu / satu kali panen.
Suasana di pemukiman baru itu rasanya cukup tenteram, damai dan sejahtera dibanding dengan pengungsi-pengungsi lain, yang hanya makan ubi dan jagung..Dalam suasana aman seperti itu tanpa terduga, gerilyawan DI/TII dari Dampal melakukan ekspansi pengaruh sampai ke wilayah Distrik Galang akhir tahun 1961. Karena trauma dan takut akan terjadi seperti di Dampal dahulu, maka banyak orang yang meninggalkan perkampungan itu. Khusus La Ewang dan Khalid Bakri (anak mantu ) memutuskan untuk berangkat ke Makassar Sulawesi Selatan.
Sesuai perjanjian tahun 1959, maka pada tahun 1963 Andi Salihuddin Bantilan melakukan pembagian lahan persawahan dengan pekerja-pekerja. ( LaEwang masih di Sulawesi Selatan ). Karena garapannya La Ewang dianggap sudah memenuhi syarat, maka ia berhak memperoleh ½ (separuh) dari luas areal garapannya, sedangkan Mudjib walaupun sudah ditentukan bagiannya, namun masih ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu harus membersihkan seluruh akar-akar pohon kayu dan bambu-bambu yang masih tersisa di areal itu.
Dengan tertangkapnya Bung Rasyid sebagai gembong gerilyawan DI/TII di Sulawesi Tengah tahun 1963, keamanan berangsur-angsur pulih, para pengungsipun pada kembali ke kampung halamnnya semula, baik yang dari gunung-gunung maupun dari kota-kota. La Ewang sekeluarga kembali ke Soni akhir tahun 1964 setelah 6 tahun ditinggalkan.
Setelah beberapa tahun berada di Soni, Ibunda Fathimah dan saya (Hasan) berangkat ke Tolitoli dengan naik perahu layar (Sande) selama 20 jam untuk mengetahui dengan jelas duduk persoalannya hasil pembagian Andi Salihuddin terhadap lahan persawahan yang pernah digarap, karena terdengar berita bahwa Abd. Mudjib tidak kebagian dari lahan itu.
Pertama-tama yang ditemui ialah Gowa Dg. Patompo dan isterinya, Ramlah ( Pettana / Indona Sengngeng ) di Kalangkangan Galang (10 km dari Kota Tolitoli). Menurut Patompo/Ramlah, waktu pembagian dulu, Mudjib juga dapat bagian dari hasil kerjanya, hanya saja karena lahan itu masih banyak pohon dan akar-akar kayunya sehingga kuasa pihak Andi Salihuddin memberikan waktu kepada Mudjib untuk diolah lagi. Guna memenuhi harapan itu, Patompo yang ikut hadir saat pembagian tersebut mempercayakan kepada orang lain untuk membersihkan sisa-sisa pohon dan rumpun bambu pada area itu.
Pada tahun pertama, pekerja itu dapat mengolahnya dengan baik dan memanen padinya, tahun kedua, juga masih sempat mengolahnya, tetapi menjelang panen, pekerja itu jatuh sakit dan tidak sempat memetiknya tepat pada waktunya, sehingga kuasa Andi Salihuddin-lah yang memanennya dan pada musin tanam tahun ketiga, lahan itu telah diambil alih oleh kuasa Andi Salihuddin, dialah yang mengolah dan mengambil hasilnya, dan orang yang dipercayakan oleh Patompo tadi tidak bisa berbuat apa-apa. Sejak itulah hak Mudjib atas tanah sawah tersebut dianggap sudah tidak ada lagi, cerita Patompo dan istrinya Ramlah. Mendengar keterangan seperti itu Ibunda Fathimah tidak mau mengerti dan berkeras hendak menjajaki dan mencari orang-orang yang dianggap lebih banyak mengetahui tentang pembagian lahan itu.
Pada keesokan harinya kami bertiga (Ramlah, Fathimah, dan Hasan) mulai menelusuri dan mencari orang-orang yang bisa memberi keterangan yang diperlukan, dicarilah kepala kampung Lakatan/Lantapan, Punggawa Galung, orang yang pernah mengolah sawah itu, orang-orang yang turut hadir saat pengukuran dan pembagian sawah dan lain-lain. Waktu yang digunakan untuk mencari sumber informasi itu hampir sehari penuh, mulai start jam 07.00 pagi sampai 17.30 sore. Hal ini disebabkan rumah mereka terpencar dan berjauhan satu dengan yang lainnya. Syukur, karena orang-orang yang ditemui semuanya mengakui bahwa benar Mudjib punya bagian dari hasil keringatnya. Sebagai bukti pengakuan dan penyaksian mereka ialah semuanya menandatangani surat penyaksian yang kami siapkan.
Atas informasi dan pengaukan beberapa orang itu, Ibunda Fathimah nampak merasa lega dan puas karena sudah ada pegangan untuk menghadap kepada Andi Salihuddin. Keesokan harinya saya bersama ibunda meninggalkan Kalangkangan menuju rumahnya Abd. Rasyid Siduppa di Toli-toli untuk selanjutnya menemui Andi Salihuddin Bantilan.
Ketika akan ke rumahnya Andi Salihuddin kami diantar oleh Abd. Rasyid Siduppa sampai di halaman rumahnya. Setelah masuk rumah dan ketemu dengan Andi Salihuddin dan istrinya, ibunda mulai angkat bicara dengan mengemukakan duduk persoalannya lahan hasil garapannya Mudjib. Secara spontan Andi Salihuddin dan istrinya, Andi Lenna Bantilan mengatakan Mudjib tidak ada bagiannya karena dia tinggalkan sebelum selesai pekerjannya dan dianggap lari dari tanggung jawabnya. Ibunda menjelaskan bahwa kepergian Mudjib ke Soni waktu itu bukan kehendaknya, tetapi suatu panggilan tugas yang sifatnya terpaksa, dia dipanggil oleh Tentara untuk diangkat sebagai Kepala Kampung Soni.
Rupanya Andi Salihuddin tidak mau mengerti dengan alasan itu. Selanjutnya, ibunda mengatakan bagaimana Puang tidak mengakui, sedangkan Kepala Kampung Lantapan, Punggawa Galung, orang yang pernah mengolah lahan itu bahkan orang yang mengukur sawah itu, semuanya mengakui bahwa ada bagiannya Mudjib, iya, iya memang benar, kata Andi Salihuddin, tapi waktu itu masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh Mudjib yaitu membersihkan/menghilangkan pohon-pohon dan rumpun bambu di lahan itu, tetapi karena tidak dilaksanakan, maka saya ambil alih sesuai perjanjian yang disepakati sebelum menggarap areal itu. Ibunda mulai emosi, tetapi ia cepat sadar bahwa orang yang dihadapi ini bukan orang biasa, dia adalah Arung, Anak Raja, maka ibunda dan saya (Hasan) minta pamit pulang dengan rasa kecewa. Besok harinya kami berdua pulang ke Soni dengan numpang perahu Sandenya Pak Djohar.
Sesampai di Soni, ibunda menemui Mudjib lalu menceritakan hasil perjalanannya dalam rangka mencari kejelasan sawah miliknya. Saya sudah menemui beberapa orang yang dapat dipercaya, kata Ibunda Fathimah kepada anaknya Mudjib, dan mereka bersedia menandatangani surat ini sebagai tanda penyaksiannya atas kebenaran hakmu itu, seraya menyerahkan surat itu kepada Mudjib, Hanya saja Andi Salihuddin tidak mengakuinya dan tetap pada pendiriannya mengambil alih dan menguasai sawah itu dengan alasan Mudjib lari dari pekerjannya. Perlu diketahui bahwa bukan hanya Mudjib yang tidak memperoleh bagian, ada beberapa pekerja yang mengalami nasib yang sama dengan alasan yang sama pula.
Saat surat penyaksian tersebut diserahkan,ibunda berharap kepada Mudjib….kau bisa menuntutnya nanti, melalui pengadilan sekalipun, makanya surat ini pelihara baik-baik jangan sampai hilang atau rusak mangingat tanda tangan saksi-saksi itu sangat susah diperoleh, hampir satu hari berkeliling mencari orang-orang itu dengan jalan kaki.
Di samping karena Mudjib tidak banyak waktu untk mengurus haknya itu, di juga berpikir rasional bahwa yang akan dihadapi itu bukan orang awam, Andi Salihuddin Bantilan adalah Bangsawan, Penguasa dan punya pengaruh yang luas di Toli-toli. Bisa-bisa hanya rugi waktu, tenaga, dan biaya menuntutnya, belum tentu berhasil.
Dan sampai akhir hayatnya Abd. Mudjib tahun 1985 masalah itu tidak pernah digubris, tidak pernah diadukan dan dituntaskan sehingga lahan sawah hasil keringatnya di Lantapan kecamatan Galang diabaikan, bahakan sudah dianggap tidak pernah ada.
Surat penyaksian tersebut inilah yang kemudian oleh putranya Mudjib dijadikan dasar dan beranggapan bahwa Kavling / Kintal di Palu itu ada juga hak miliknya Bapaknya (Mudjib) karena kavling itu dibeli dari harga penjualan sawah di Lantapan sebagai pembagian dari hasil garapannya bersama Bapaknya ( La Ewang ). Dia ( putranya Mudjib ) tidak tahu bahwa Surat Penyaksian tersebut hanya sebatas penyaksian belaka dari orang-orang yang sempat ditemui, namun Andi Salihuddin Bantilan tetap pada pendiriannya tidak mengakui adanya bahagian Mudjib dari sawah itu.
Untuk bahagiannya La Ewang dari hasil olahannya sendiri, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ibunda putuskan lebih baik dijual saja, maka melalui kuasa Pamanda Abd. Razak Mahmud di Toli-toli, sawah itu berhasil terjual dengan harga satu juta rupiah, uang itulah yang kemudian digunakan membeli tanah kavling di Palu dengan ukuran 12 x 14 meter. Dan oleh Ibunda Fathimah dihibahkan sekaligus sebagai warisan kepada anaknya yang bernama Sitti Hadidjah La Ewang.
Dari alur cerita yang disusun secara kronologis ini, dapatlah disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) hal penting, sekaligus merupakan tujuan pokok dari tulisan ini, yaitu sebagai berikut:
1. La Ewang yang telah bekerja sesuai perjanjian berhak memperoleh ½ (separuh) dari hasil kerjanya.
2. Abd. Mudjib tidak memperoleh bagian dari hasil kerjanya karena tidak menepati perjanjian kerja.
3. Surat Penyaksian yang ibunda Fathimah serahkan kepada Mudjib itu adalah hanya sekedar pengakuan orang-orang yang mengetahui tentang adanya bagiannya Mudjib, tetapi Andi Salihuddin Bantilan tidak mengakuinya, bahkan telah mengambil alih semua lahan yang pernah digarap oleh Mudjib.
Berdasarkan poin 1 dan 2 di atas, dapatlah dipahami bahwa tanah persawahan di Lantapan itu adalah murni 100 % dari hasil kerjanya La Ewang sendiri, dengan kata lain tidak ada campur tangan dan hasil keringatnya Mudjib di dalamnya. Oleh karena itu tanah kavling di Palu sebagai hasil penjualan sawah tersebut, berarti juga murni 100 % miliknya La Ewang. Hanya karena pengaturan Ibunda Fathimah, maka kintal/kavling itu diberikan kepada Hadidjah sebagai warisan. .
Demikian keterangan ini sebagai data / informasi untuk meluruskan dan menghilangkan anggapan bahwa tanah kavling di Palu itu adalah hasil penjualan sawah yang digarap oleh La Ewang bersama Mudjib di Lantapan.
Kiranya anak cucunya La Ewang dapat memakluminya, khususnya ahli warisnya almarhum tercinta Abdul. Mudjib La Ewang. (Palu, 1 Januari 1996)