Rabu, 27 Agustus 2014

Mengenang 90 Tahun Tragedi Berdarah Salumpaga

Monumen Dari Ketiga Pahlawan Salumpaga Buol Toli Toli
Salumpaga adalah sebuah perkampungan yang terletak 70 km dari Tolitoli atau 500 km arah utara kota Palu. Di pemukiman ini pernah terjadi peristiwa berdarah ketika penduduk mengadakan perlawanan terhadap kekejaman Belanda. Tragedi tersebut terjadi di bulan Puasa 1339 H, yang pada bulan Ramadhan 1429 Hijeriah ini, pas 90 tahun.

Menurut Hi. Hasan Tawil, BBA ( 74 tahun ), mantan anggota DPRD Sulteng 1969- 1987 dan beberapa catatan tentang peristiwa Salumpaga, mengisahkan bahwa pada awal kekuasaan Belanda di Tolitoli 1915, ia memprioritaskan pembuatan jalan dari Nalu ke Kalangkangan sekitar 20 km dengan sistim “HEERENDIENST’ secara paksa tanpa menjamin makan dan minumnya, apalagi upah kerja.

Heerendienst ( Kerja Rodi ) diperlakukan secara bergilir kepada masyarakat dari setiap perkampungan selama 14 hari. Rakyat Salumpaga kena giliran menjelang bulan puasa dengan menunjuk 40 orang pekerja. Sesuai perhitungan, mereka akan bekerja sampai hari ke – 6 bulan Ramadhan. Oleh karena itu sebelum puasa, mereka menghadap kepada Raja Tolitoli, Haji Mohammad Ali Bantilan untuk bermohon kiranya pekerjaan bisa dilanjutkan setelah lebaran Idul Fitri. Raja menjawab, pergilah kepada Kontroleur penyampaikan keberatanmu, merekapun pergi ke kontroleur J.P.de Kat Angelino. Kontroleur mengatakan Heerendienst dibulan puasa bukan mauku, tapi maunya Rajamu sendiri. pergilah mengadu kepada Rajamu. Demikianlah mereka bolak balik minta keringanan tapi tidak diterima. Atas kejengkelan mereka, maka para pekerja rodi itu sepakat pulang ke Salumpaga dengan naik perahu.

Setiba di Salumpaga, mereka menghadap kepada Kepala Kampung ( Abd,Karim ) sekaligus minta perlindungan, namun justru Kepala Kampung marah dan bergegas berangkat menemui Marsaoleh Distrik Utara, Haji Muhammad Shaleh Bantilan di Santigi untuk melapor bahwa pekerja asal Salumpaga melarikan diri. Mendengar laporan Abd. Karim itu, Marsaoleh lalu menyampaikan kepada Raja Tolitoli Haji Muhammad Ali Bantilan di Nalu. Selanjutnya, Raja Tolitoli menghadap kepada Kontroleur Belanda J.P. Angelino. Saat itu pula mereka sepakat berangkat ke Salumpaga dengan naik perahu. Rombongan itu terdiri dari Kontroleur Angelino, Raja Ali Bantilan, Marsaoleh Shaleh Bantilan, Mantri Pajak Suatan, 5 Polisi dan 2 orang Opas Kerajaan

Sesampai di Salumpaga, Kontroleur memerintahkan Kepala Kampung untuk mengumpulkan para pekerja yang melarikan diri. Setelah semuanya berkumpul, lalu Kontroleur Angelino bertanya, kenapa anda melawan pemerintah dan melarikan diri ? Haji Hayun sebagai Imam Salumpaga yang ikut hadir menjawab “Mereka tidak melawan Pemerintah dan tidak pula lari dari pekerjaan” tetapi mereka pulang karena persediaan bahan makanannya habis dan akan melaksanakan Ibadah Puasa bersama keluarga. Kira nya Tuan Paduka dapat memakluminya. Adapun tugas pekerjaan yang 6 hari lagi dapat dilanjutkan usai lebaran. Permohonan itu tidak dikabulkan, bahkan memerintahkan segera ke Tolitoli melanjutkan kerja rodi.

Mereka diberangkatkan dengan jalan kaki dalam keadaan leher dan tangannya diikat satu sama lain dengan dikawal oleh 5 Polisi. Melihat perlakuan seperti itu, Haji Hayun meminta agar ikatan itu dilepas dan pekerjaan ditangguhkan sampai selesai puasa. Lagi-lagi Kontroleur Angelino menolak. Atas penolakannya, seketika itu juga Otto menebas batang leher Angelino hingga badan dan kepalanya terpisah, lalu berpaling memancung Manteri Pajak Suatan dan seorang Opas. Raja Haji Mohammad Ali Bantilan yang hendak melarikan diri, dapat dibunuh oleh Kampaeng. Adapun Marsaoleh Haji Mohammad Shaleh Bantilan dapat terhindar dari maut karena sempat bersembunyi di rumah penduduk.

Melihat kejadian itu, seorang Opas sempat berlari mengejar polisi yang mengawal 28 pekerja itu dan berteriak “Lepaskan Tembakan” Tuan Kontroleur sudah mati. Mendengar teriakan tersebut, polisi melepaskan tembakan ke udara. Sebelum tembakan kedua, pekerja serentak melepaskan ikatan ditangan dan dileher lalu merampas senjata nya dan dipukulkan padanya sampai ke-5 polisi itu mati. Peristiwa ini terjadi tgl. 5 Juni 1919 bertepatan 2 Ramadhan 1339, 90 tahun yang silam. ( Untuk dikenang, Pemerintah Belanda mendirikan TUGU setinggi 4 meter, tertulis nama Controleur J.P. de KAT ANGELINO tgl. 5 Juni 1919. Tugu ini masih dapat kita saksikan sekarang di Salumpaga)

Mendengar berita kematian Kontroleur, Asisten Residen Belanda Yunius yang berkedudukan di Donggala langsung berangkat ke Tolitoli bersama Raja Banawa, Lamarauna dan 12 serdadu dengan naik kapal Yansen.

Dari Tolitoli ke Salumpaga, rombongan diantar oleh Raja Muda Magelang ( Putra Raja Haji Muhammad Ali Bantilan ) untuk menangkap pemberontak. Karena mendengar informasi rakyat Salumpaga akan mengadakan perlawanan jika Belanda datang, maka Residen Yunius mengambil taktik, yaitu Raja Muda saja duluan mendarat dan memperlihatkan diri agar rakyat tidak berontak.

Dengan taktik strategis ini, akhirnya berhasil menangkap 28 orang. Pertama mereka di tawan di Tolitoli kemudian dipindahkan di beberapa penjara, Makassar, Manado dan Surabaya.

Berdasarkan keputusan Hakim Landraad Makassar tahun 1921, menetapkan Kombong, Otto dan Hasan dijatuhi Hukuman Gantung, Haji Hayun di vonis Seumur Hidup, 24 orang lainnya dengan hukuman penjara antara 5 – 20 tahun. Eksekusi hukuman gantung terhadap Kombong, Otto dan Hasan dilaksanakan 18 September 1922 di Manado, sedangkan Haji Hayun dan lainnya semuanya dipenjara di Pulau Nusa Kambangan Jawa Tengah.

Kebangkitan semangat perjuangan masyarakat Tolitoli, khusuanya masyarakat Salumpaga dalam menentang penjajahan Belanda adalah diilhami dengan kedatangan Tokoh S I ( Syarekat Islam ) Abd. Muis di Tolitoli tahun 1916.

Akibat kerusuhan tersebut, Pemerintah Belanda di Makassar mengutus Daeng Massese dari Kerajaan Bone untuk mendampingi Raja Muda Tolitoli Magelang Bantilan memulihkan keamanan, khususnya di Salumpaga. Dg. Massese ini dipertahankan sampai datangnya bangsa penjajah Jepang tahun 1942. Karena ia tidak mau tunduk kepada pemerintah Jepang akhirnya ia dibunuh.

Menyimak keberanian Haji Hayun memimpin pemberontakan Salumpaga menentang kekejaman penjajahan Belanda, maka sepatutnya Pemerintah Kabupaten Tolitoli mengusulkan Haji Hayun sebagai “Pahlawan Nasional” Pemberian nama untuk lapangan Bola Kaki Tolitoli dan beberapa nama ruas jalan di Sulteng, belum seimbang dengan penderitaan yang ia terima dari perjuangannya itu. Ia disiksa dan dipenjarah seumur hidup selama 25 tahun di tempat yang paling kejam Nusa Kambangan, kuburannya tidak diketahui dimana Batu Nizannya, Masya Allah ! (Palu, September 2008 M / Ramadhan 1429 H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar