Masjid Qiblatain |
Perpindahan tersebut bermula sewaktu penganut agama Yahudi cemburu dan cemas melihat perkembangan Islam dan merasa terancam eksistensi keberadaannya di Madinah. Atas kekhawatiran itu, lalu mereka mencoba membujuk Nabi Muhammad agar mau meninggalkan Madinah. Orang Yahudi mengatakan “Baitul Maqdis di Yerusalem Palestina adalah Kota Suci yang disediakan Tuhan bagi Nabi dan Rasul-RasulNya. Anda sebagai Nabi, seharusnya tinggal menetap di Kota Suci itu sebagaimana Nabi dan Rasul-Rasul terdahulu.”
Bagaimana respon Rasulullah? Jangankan pindah secara fisik ke Palestina, menghadapkan wajah saja tidak dilakukan. Sikap Baginda Nabi ini didasari dengan turunnya ayat “Sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Qiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dimana pun kamu berada.” (QS. Al Baqarah : 144). Peristiwa ini terjadi tahun 623 M / 2 H ketika Nabi Muhammad sedang Shalat Dhuhur. Saat itu pula beliau langsung merubah posisi dari arah Baitul Maqdis Palestina ke arah Baitullah di Mekkah.
Tempat Baginda shalat itu bernama masjid “Al- Ahzab” namun kemudian diberi nama masjid “Qiblatain”, artinya Dua Qiblat. Masjid ini sangat terkenal dan dijadikan salah satu objek Ziarah di Madinah bagi jamaah setiap musim haji.
Mengapa harus menghadap ke Masjidil Haram? Karena di sana ada Ka’bah sebagai bangunan pertama-tama di permukaan bumi ini. Dalam Al Qur’an disebutkan “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) bagi manusia, ialah Baitullah (Ka’bah) di Mekah” (QS. Ali ‘Imran : 96). “Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia.” (QS. Al Maa’idah : 97).
Ka’bah buat pertama kali dibangun oleh Malaikat, dipelihara oleh Nabi Adam, Nabi Ibrahim dan Nabi-Nabi yang lain sampai pada Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya direhab dan direnovasi oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Tipenya berbentuk Kubus dengan tinggi 15 meter dari tanah, lebar dari sudut ke pojok sekitar 10 meter. Bangunannya sangat sederhana, hanya karena ditutupi dengan Kiswah sehingga nampak indah dan mengagumkan, bahkan bisa mencucurkan air mata bagi orang yang memandangnya dari jarak dekat. Kiswah itu terbuat dari sutra murni yang diberi warna hitam dengan hiasan kaligrafi huruf timbul warna kuning. Kiswah tersebut diganti setiap tanggal 9 Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di ‘Arafah.
Pintunya yang berukuran 3,10 X 1,90 meter, dilapisi dengan ornamen-ornamen kaligrafi ayat-ayat Al Qur’an dari emas murni seberat 280 kg. Di depan pintu Ka’bah inilah Imam berdiri memimpin shalat untuk seluruh jamaah yang ada di Masjidil Haram. Pada bagian atapnya di pasangi Talang untuk mengalirkan air ketika pencucian Ka’bah sebelum pemasangan Kiswah baru, demikian juga bila hujan turun. Talang sepanjang 2,50 meter itu dilapisi emas sehingga sering disebut Talang Emas (Jompi Ulaweng).
Pada bagian lain, terdapat Hajarul Aswad. Hajarul Aswad adalah batu hitam yang tertanam di sudut Ka’bah pada ketinggian 1,10 meter dari lantai. Mencium Hajarul Aswad ketika thawaf tidak termasuk rukun / wajib haji, artinya tanpa menciumnya, ibadah haji tetap sah. Adapun ruangan dalam Ka’bah, isinya adalah barang-barang berharga peninggalan purbakala sebelum dan sesudah Islam.
Sekitar 10 meter dari Ka’bah terdapat sumber Air Zamzam. Sumur ini berkedalaman 30 meter, 13 meter ke mata air dan 17 meter dari mata air ke dasar sumur dengan diameter 2,50. Dari mata air itu bisa mengeluarkan 40.000 liter / jam dan mampu memenuhi kebutuhan air zam-zam bagi jutaan jamaah pada musim haji.
Arah Qiblat umat Islam seluruh dunia adalah Ka’bah. Hal ini lebih jelas tatkala kita berada di Masjidil Haram. Dari empat penjuru masjid, semua orang menghadap ke arah Ka’bah yang terletak di tengah-tengah Masjidil Haram. Berdasarkan peta satelit di Kanwil Depag Sulteng, arah Ka’bah di Indonesia, khususnya di kota Palu berada pada posisi 21,85 derajat dari barat ke utara.
Menghadap Ka’bah bukan hanya saat melaksanakan shalat, tetapi juga disunatkan ketika berdoa, menyembelih binatang, menguburkan mayat, dan upacara keagamaan lainnya. Sebaliknya, ketika buang air besar / kecil atau meludah dianjurkan tidak menghadap Ka’bah sebagai penghormatan. Untuk itu, bila kita akan membuat Toilet / WC hendaknya memperhatikan letak closednya supaya orang yang buang air besar/kecil tidak menghadap atau membelakangi Ka’bah, sebab sewaktu kita berak atau kencing bukan hanya muka menghadap Ka’bah, tetapi organ tubuh tempat keluarnya najis/ kotoran itu juga menghadap Ka’bah, sedangkan Ka’bah itu suci.
Menghadap ke Baitullah sewaktu shalat atau kegiatan keagamaan lainnya bukan berarti menyembah batu / bangunan Ka’bah, tetapi hikmah diperintahkan berqiblat ke Ka’bah ialah bahwa dengan kesatuan arah ini diharapkan terwujudnya persatuan dalam menciptakan persaudaraan dan perdamaian Islam sedunia.
Perbedaan pendapat adalah rahmat, jangan hanya karena berbeda kepentingan dan pemahaman terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an lalu terjadi bentrok fisik yang berdampak pada malapetaka yang merugikan diri sendiri. Arah peribadatan kita kepada Allah SWT hanya “SATU QIBLAT” yaitu “KA’BAH” yang ada di tanah suci Mekkah. (Palu, 1 Juli 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar