Kahar Muzakkar |
Al-Kissah; Sebelum Kahar Muzakkar diutus ke Sulawesi Selatan sebagai tanah kelahirannya, terlebih dahulu dimandatir oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk membentuk TRIPS [Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi} dengan tujuan untuk membantu TNI meningkatkan perlawanan bersenjata terhadap Tentara NICA di Sulawesi Selatan.
NICA (Nederlands Indische Civiel Administratie) bermaksud hendak mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Dalam pembentukan TRIPS itu, Kahar Muzakkar sendiri ditunjuk sebagai komandan dan Andi Mattalatta sebagai wakilnya. Setelah itu lalu diperintahkan segera berangkat ke Sulawesi Selatan. Tapi pengiriman pasukan pada expedisi pertama ini, Kahar Muzakkar belum bersedia berangkat karena ada kasusnya dengan Pemerintahan Adat di Kerajaan Luwu Palopo. Untuk itu, hanya Andi Mattalatta bersama sejumlah pasukannya yang berangkat pada pertengahan Desember 1946. Nanti pada expedisi ketiga barulah Kahar Muzakkar ke Sulawesi Selatan.
Sebelum meninggalkan Pulau Jawa, taktik dan strateginya sudah disusun bersama Soetomo {Bung Tomo}. Salah satu missinya ialah mengkikis habis Politik Devide Et Impera Belanda {Politik Pecah Belah}. Dan Kahar Muzakkar berjanji kepada Bung Tomo akan terus menerus mengirim laporan perkembangan perjuangannya di Sulawesi serta mengharap kiranya Bung Tomo dapat membantu bila menghadapi masalah berat melalui saluran politik Pusat Pemerintahan Jakarta, demikian kesepakatan antara Kahar Muzakkar dengan Bung Tomo.
Namun, betapa terkejutnya Bung Tomo ketika mendengar berita bahwa Kahar Muzakkar berbalik melawan tentara resmi Indonesia dengan cara bergerliya di hutan-hutan. Tindakan Kahar Muzakkar tersebut karena merasa diperlakukan tidak adil dalam reformasi pasukan Angktan Bersenjata di Sulawesi. Kahar Muzakkar dan anak buahnya diberi kedudukan dan pangkat yang dirasa tidak sesuai dengan jasa dan pengalamannya dalam perjuangan melawan Belanda di Pulau Jawa.
Sebenarnya, Kahar Muzakkar pada mulanya tidak pernah berpikir menggunakan Islam sebagai identitas gerakannya. Nanti mereka terdesak atas serangan TNI, lalu ia teringat bahwa penduduk Sulawesi Selatan mayoritas beragama Islam yang panatik, pemberani dan rela berjihad bila agamanya tersinggung. Maka muncullah hasrat memanfaatkan Islam sebagai alat perjuangannya. Lalu diproklamirkanlah bahawa missi dan cita-cita perjuangannya adalah hendak Mewujudkan Negara Islam/Darul Islam {DI} dengan kekuatan Tentara Islam Indonesia {TII}.
Setelah Kahar Muzakkar mempermaklumkan dirinya sebagai pejuang untuk membentuk Negara Islam, maka secara spontan masyarakat Sulawesi Selatan banyak yang menggabungkan diri bergerilya di hutan-hutan melawan tentara resmi {TNI}. Akibatnya tidak sedikit yang menderita kekurangan bahan makanan karena tidak sempat lagi mengolah lahan persawahan, perkebunan dan perdagangan mereka.
Kahar Muzakkar semakin teguh pendirian dan perjuangannya setelah melihat Presiden RI (Ir. Soekarno) pro komunis, sehingga pada suatu waktu ia mengirim utusan ke Jakarta untuk menyampaikan bahwa ia tidak mau tahu lagi dengan Pemerintah Pusat. Ia menganggap sudah terlalu banyak memberikan hati kepada komunis dan kebijaksanaannya sangat menguntungkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Gerakan DI/TII dapat dilumpuhkan setelah pimpinannya (Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Bung Rasyid di Sulawesi Tengah) berhasil ditembak mati dalam operasi militer tahun 1963.
PERMESTA (Perjuangan Semesta)
Gerakan Perjuangan Semesta lahir di Sulawesi Utara pada tahun 1954, meliputi wilayah Minahasa, Sangir Talaud, Bolaang Mongondow dan Gorontalo, bahkan sampai ke daerah-daerah diluar Sulawesi Utara, termasuk wilayah Sulawesi Tengah, khususnya Distrik Dampal Kabupaten Buol Tolitoli.
Perjuangan rakyat tersebut bukan untuk melepaskan diri dari bingkai Negara Republik Indonesia (NKRI), akan tetapi semata-mata demi perbaikan nasib rakyat Indonesia dalam penyelesaian masalah-masalah yang belum sempat dilaksanakan selama perjuangan kemerdekaan, termasuk masalah pengelolaan perdagangan kopra antar pulau. Gerakan Permesta ini tidak lama bertahan karena dapat diantisipasi dan ditumpas oleh Satuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada awal tahun 1960- an. (Palu, 1 Januari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar