Pemandangan Kotaraya dari atas Tinombala |
Tinombala adalah sebuah deretan pegunungan
yang berada di Kabupaten Parigi Moutong, tepatnya di Kecamatan Ongka Malino
sekitar 300 km arah utara Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Di puncak pegunungan
ini (1000 kaki) pernah terjadi peristiwa dahsyat yang menggemparkan dunia
penerbangan, yaitu jatuhnya Pesawat Perintis Merpati Twin Otter tanggal 29
Maret 1977, 37 tahun silam dalam
penerbangannya Palu – Tolitoli. Dari 23 orang yang ada di dalamnya hanya 10
orang yang hidup. Salah seorang diantaranya bernama Hasan Tawil. Untuk
mengenang tragedi ini, penulis menemui beliau di rumah kediamannya Jl. Tanjung
Tada No. 27 Palu.
Haji Hasan Tawil, BBA (81 tahun)
adalah mantan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah selama 18 tahun
berturut-turut sejak tahun 1967. Keberangkatannya ke Tolitoli kala itu karena
ia termasuk salah seorang anggota Tim Pembina Wilayah Kabupaten Buol Tolitoli
dalam menyukseskan Pemilu 1977.
Pada peristiwa tersebut, Hasan Tawil
mengisahkan, sebenarnya jalur penerbangan Palu-Tolitoli adalah melewati garis
pantai Teluk Tomini. Tapi cuaca sangat cerah hari itu, maka pilot Anwar mencoba
potong kompas melintasi pegunungan Tinombala. Kira-kira 10 menit sebelum sampai
di area gunung muncul awan tebal yang menghalangi pandangan pilot. Sesaat
kemudian baru kelihatan gunung. Pilot berusaha menghindarinya namun tidak bisa
lagi, akhirnya menyambar pohon yang menyebabkan sayap pesawat patah dan
terjatuh. Hasan Tawil sendiri jatuh pingsan beberapa saat, ia sadar setelah air
hujan membasahi badannya.
Dalam keadaan panik lagi lemas, ia
masih dapat menolong sesama korban yang terjepit, luka, patah tulang dan
lain-lain. Beliau lama berpikir, merenung sambil berdoa, tiba-tiba dalam
penglihatan intuisinya melihat pada kejauhan ada bangunan beratap seng, ia
yakin pasti ada perkampungan. Ia segera meninggalkan pesawat dan teman-temannya
yang lemas menuju tempat itu dengan tujuan memberitahu dan meminta bantuan
masyarakat. Pada mulanya hanya ia sendiri yang pergi, rupanya Co Pilot Markus
juga menyusul.
Sudah lama mereka berdua berjalan
mendaki/menuruni tebing, tapi bangunan yang dilihatnya tadi belum juga dapat, namum
mereka tetap melanjutkan perjalanan. Setelah 5 jam berjalan di hutan belantara
itu, mereka menemukan air terjun dan sungai. Dalam pikirannya air itu mengalir
ke tempat rendah dan bermuara di laut. Makanya mereka mengikuti aliran sungai
itu. Sudah berhari-hari mereka menelusuri daerah aliran sungai tapi belum juga
ada tanda-tanda muara sungai dan perkampungan.
Pada hari ke-4, 1 April tanpa terduga muncul Haji Salim Midu, jadilah
mereka bertiga dalam keadaan tersesat tanpa mengetahui ke arah mana mereka tuju
kecuali tetap mengikuti arah aliran sungai. Untung saja dalam perjalanan mereka
tidak menemui ancaman/gangguan binatang buas, kecuali hanya lintah-lintah
pengisap darah yang menempel di badan. Dan setiap menjelang malam atau hujan
turun, mereka mencari gua/ celah-celah batu untuk berlindung. Tidak sedikit gua
yang dimasuki sangat sempit dan gelap gulita.
Pada hari ke-6, 3 April pukul 08.00 mereka menemukan pohon besar yang
tumbang, mereka lalu naik diatasnya dan melihat ada pondok dan kebun jagung.
Dari situ mereka berteriak tolong . . . tolong, muncullah seorang wanita, tapi
wanita itu malah lari karena takut. Kami bertiga terus mendekati pondok itu dan
menemukan 2 orang laki-laki. Hasan Tawil bertanya kampung apa ini? “Ongka”
jawab laki-laki itu, berarti lokasi transmigrasi ya, asal dari mana? Dari Solo. Dengan jawaban
itu, Hasan Tawil mempersilahkan Markus yang bisa berbahasa Jawa. Saat Markus
menceritrakan keadaannya, kami melirit jagung yang sementara dibakar lalu kami
memintanya, ternyata mulut kami tidak bisa terbuka meski jagung itu dimasukkan
satu-satu biji. Hal ini disebabkan karena sudah 6 hari tidak pernah memasukkan
makanan kemulut selain meminum air sungai.
Dalam perjalanan dari pondok ke
pemukiman dengan diantar oleh 2 orang tersebut, Hasan Tawil melihat batang tebu
dan minta diambil/dikupaskan. Berkat air tebu itu mulut saya dapat terbuka.
Jadi yang pertama kali masuk dalam perut saya setelah 6 hari 6 malam tidak
makan adalah air tebu. Sesampai di rumah salah seorang transmigran, Hasan Tawil
mengharapkan segera menyampaikan kepada Kepala Proyek Transmigrasi tentang keberadaannya. Pukul 16.00 Kepala Proyek datang menemui ketiga penumpang pesawat yang
nahas itu. Hasan Tawil menceritrakan kronologis kejadian jatuhnya pesawat MNA
Twin Otter berikut kisah perjalanannya dari lokasi jatuhnya pesawat sampai di
Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Ongka. Selanjutnya ia meminta Kepala Proyek
UPT menginformasikan kepada R. Soejono selaku Ketua DPRD Provinsi Sulawesi
Tengah.
Keesokan harinya, 4 April 1977 pukul
07.30, Helikopter datang dari Palu dengan Kapten Pilot Ely bersama dokter
Murlawi. Dari Ongka Malino mereka diterbangkan ke Tolitoli karena lebih dekat
ketimbang ke Palu. Demikian juga jenazah yang 13 itu semuanya dievakuasi ke
Tolitoli. Adapun penguburannya diserahkan kepada keluarga masing-masing. Ada
yang dimakamkan di Tolitoli, di Palu bahkan Pilot Pesawat (Anwar) dimakamkan di
Jawa.
Demikian tragedi jatuhnya Pesawat
Merpati Twin Otter tanggal 29 Maret 1977. 37 tahun silam yang dikisahkan oleh Bapak
Hasan Tawil, kepada penulis belum lama ini.
Palu, 25 Maret 2014
Hasan
La Ewang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar