Jumat, 01 Agustus 2014

Mengenang 37 Tahun Tragedi Tinombala


                
Pemandangan Kotaraya dari atas Tinombala
Tinombala adalah sebuah deretan pegunungan yang berada di Kabupaten Parigi Moutong, tepatnya di Kecamatan Ongka Malino sekitar 300 km arah utara Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Di puncak pegunungan ini (1000 kaki) pernah terjadi peristiwa dahsyat yang menggemparkan dunia penerbangan, yaitu jatuhnya Pesawat Perintis Merpati Twin Otter tanggal 29 Maret 1977, 37 tahun silam  dalam penerbangannya Palu – Tolitoli. Dari 23 orang yang ada di dalamnya hanya 10 orang yang hidup. Salah seorang diantaranya bernama Hasan Tawil. Untuk mengenang tragedi ini, penulis menemui beliau di rumah kediamannya Jl. Tanjung Tada No. 27 Palu. 

Haji Hasan Tawil, BBA (81 tahun) adalah mantan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah selama 18 tahun berturut-turut sejak tahun 1967. Keberangkatannya ke Tolitoli kala itu karena ia termasuk salah seorang anggota Tim Pembina Wilayah Kabupaten Buol Tolitoli dalam menyukseskan Pemilu 1977.

Pada peristiwa tersebut, Hasan Tawil mengisahkan, sebenarnya jalur penerbangan Palu-Tolitoli adalah melewati garis pantai Teluk Tomini. Tapi cuaca sangat cerah hari itu, maka pilot Anwar mencoba potong kompas melintasi pegunungan Tinombala. Kira-kira 10 menit sebelum sampai di area gunung muncul awan tebal yang menghalangi pandangan pilot. Sesaat kemudian baru kelihatan gunung. Pilot berusaha menghindarinya namun tidak bisa lagi, akhirnya menyambar pohon yang menyebabkan sayap pesawat patah dan terjatuh. Hasan Tawil sendiri jatuh pingsan beberapa saat, ia sadar setelah air hujan membasahi badannya. 

Dalam keadaan panik lagi lemas, ia masih dapat menolong sesama korban yang terjepit, luka, patah tulang dan lain-lain. Beliau lama berpikir, merenung sambil berdoa, tiba-tiba dalam penglihatan intuisinya melihat pada kejauhan ada bangunan beratap seng, ia yakin pasti ada perkampungan. Ia segera meninggalkan pesawat dan teman-temannya yang lemas menuju tempat itu dengan tujuan memberitahu dan meminta bantuan masyarakat. Pada mulanya hanya ia sendiri yang pergi, rupanya Co Pilot Markus juga menyusul.

Sudah lama mereka berdua berjalan mendaki/menuruni tebing, tapi bangunan yang dilihatnya tadi belum juga dapat, namum mereka tetap melanjutkan perjalanan. Setelah 5 jam berjalan di hutan belantara itu, mereka menemukan air terjun dan sungai. Dalam pikirannya air itu mengalir ke tempat rendah dan bermuara di laut. Makanya mereka mengikuti aliran sungai itu. Sudah berhari-hari mereka menelusuri daerah aliran sungai tapi belum juga ada tanda-tanda muara sungai dan perkampungan.

Pada hari ke-4, 1 April  tanpa terduga muncul Haji Salim Midu, jadilah mereka bertiga dalam keadaan tersesat tanpa mengetahui ke arah mana mereka tuju kecuali tetap mengikuti arah aliran sungai. Untung saja dalam perjalanan mereka tidak menemui ancaman/gangguan binatang buas, kecuali hanya lintah-lintah pengisap darah yang menempel di badan. Dan setiap menjelang malam atau hujan turun, mereka mencari gua/ celah-celah batu untuk berlindung. Tidak sedikit gua yang dimasuki sangat sempit dan gelap gulita.

Pada hari ke-6, 3 April pukul 08.00 mereka menemukan pohon besar yang tumbang, mereka lalu naik diatasnya dan melihat ada pondok dan kebun jagung. Dari situ mereka berteriak tolong . . . tolong, muncullah seorang wanita, tapi wanita itu malah lari karena takut. Kami bertiga terus mendekati pondok itu dan menemukan 2 orang laki-laki. Hasan Tawil bertanya kampung apa ini? “Ongka” jawab laki-laki itu, berarti lokasi transmigrasi ya, asal dari mana? Dari Solo. Dengan jawaban itu, Hasan Tawil mempersilahkan Markus yang bisa berbahasa Jawa. Saat Markus menceritrakan keadaannya, kami melirit jagung yang sementara dibakar lalu kami memintanya, ternyata mulut kami tidak bisa terbuka meski jagung itu dimasukkan satu-satu biji. Hal ini disebabkan karena sudah 6 hari tidak pernah memasukkan makanan kemulut selain meminum air sungai. 

Dalam perjalanan dari pondok ke pemukiman dengan diantar oleh 2 orang tersebut, Hasan Tawil melihat batang tebu dan minta diambil/dikupaskan. Berkat air tebu itu mulut saya dapat terbuka. Jadi yang pertama kali masuk dalam perut saya setelah 6 hari 6 malam tidak makan adalah air tebu. Sesampai di rumah salah seorang transmigran, Hasan Tawil mengharapkan segera menyampaikan kepada Kepala Proyek Transmigrasi tentang keberadaannya. Pukul 16.00 Kepala Proyek datang menemui ketiga penumpang pesawat yang nahas itu. Hasan Tawil menceritrakan kronologis kejadian jatuhnya pesawat MNA Twin Otter berikut kisah perjalanannya dari lokasi jatuhnya pesawat sampai di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Ongka. Selanjutnya ia meminta Kepala Proyek UPT menginformasikan kepada R. Soejono selaku Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. 

Keesokan harinya, 4 April 1977 pukul 07.30, Helikopter datang dari Palu dengan Kapten Pilot Ely bersama dokter Murlawi. Dari Ongka Malino mereka diterbangkan ke Tolitoli karena lebih dekat ketimbang ke Palu. Demikian juga jenazah yang 13 itu semuanya dievakuasi ke Tolitoli. Adapun penguburannya diserahkan kepada keluarga masing-masing. Ada yang dimakamkan di Tolitoli, di Palu bahkan Pilot Pesawat (Anwar) dimakamkan di Jawa. 

Demikian tragedi jatuhnya Pesawat Merpati Twin Otter tanggal 29 Maret 1977. 37 tahun silam yang dikisahkan oleh Bapak Hasan Tawil, kepada penulis belum lama ini.

                         Palu, 25 Maret 2014
                Hasan  La Ewang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar