Pak Soeharto bersama Bu Tien |
Semangat itu diperkuat pula dengan melihat nasib anak bangsa yang menyedihkan karena Pemerintah Orde Lama yang Pro Natalis tidak setuju dengan pembatasan kelahiran. Presiden Soekarno berobsesi, Bangsa Indonesia tidak perlu dibatasi pertumbuhannya karena tanahnya sangat luas, justru penduduk harus diperbanyak agar ada yang menggarapnya. Dengan prinsip demikian, maka ciri-ciri kependudukan saat itu adalah jumlah penduduk besar, pertumbuhannya tinggi, penyebaran tidak merata, kualitas yang rendah.dan kemiskinan merajalela.
Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Deklerasi PBB serta melihat ciri-ciri kependudukan tersebut, maka dibentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) tahun 1969 sebagai upaya untuk menekan angka kelahiran. LKBN yang Semi Pemerintah itu lalu ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen melalui Keputusan Presiden ( Keppres ) No. 8 tahun 1970 tentang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) dengan tugas menjalankan koordinasi dan integrasi terhadap pelaksanaan program nasional secara terpadu.
Atas dasar Keppres inilah Program KB mulai digalakkan dengan mengkoordinasi kan dengan Instansi Pemerintah, Swasta dan Institusi Masyarakat serta memperkuat komitmen politis sampai ketingkat desa dengan target menurunkan angka kelahiran 50 % pada tahun 1990 dibandingkan dengan keadaan 1970.
Sosialisasi Pelembagaan Program KB memang berat sebab menyangkut berbagai aspek perobahan nilai, sosial, pola pikir, prilaku, juga aspek keyakinan agama. Untuk itu, Pemerintah dengan semangat Orde Baru secara bijak mengajak semua elemen masyara kat, termasuk Tokoh Agama untuk meningkatkan taraf hidupnya melalui pembangunan diberbagai bidang, antara lain Keluarga Berencana ( KB ).Tokoh Agma diajak menggali ajaran agamanya untuk selanjutnya menuntun pengikutnya bagaimana cara membangun keluarga sejahtera melalui pintu dan bahasa agama. Seiring dengan upaya pelembagaan ide KB ini, diusahakan pula penyediaan dana dan sarana yang mendukung program itu, baik dari APBN maupun bantuan luar negeri.
Presiden Soeharto yang Anti Natalis selalu mengingatkan bahwa Pembangunan yang kita laksanakan sekarang, tidak akan mempunyai arti bagi anak cucu kita bila tidak dibarengi dengan pengendalian dan penurunan tingkat kelahiran.
Demikianlah, dari tahun ke tahun, Pelita ke Pelita, gerakan KB semakin meluas dan memasyarakat ke pelosok tanah air, sampai ketingkat Dusun /RT terpencil sekalipun. Semuanya mengenal KB dan bersedia menjadi akseptor lestari secara mandiri karena merasa sudah menjadi kebutuhan mereka.
Komitmen politis mencapai klimaksnya ketika keluarnya UU No.10 /1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Kalau pada mula nya KB diartikan hanya pemakaian alat kontrasepsi untuk mengatur kehamilan, maka dengan UU No. 10 tersbut, definisi KB diperluas; yaitu Upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui Pendewasaan Usia Perkawinan, Pengaturan klahiran, Pembinaan ketahanan keluarga dan Peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera.
Dengan ruang lingkup yang demikian luas, maka kegiatannya juga diperbanyak melalui pemberdayaan keluarga, antara lain pembentukan dan pembinaan kelompok UPPKS ( Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera ) dengan kegiatan ekonomi produktif. Sasarannya adalah ibu-ibu rumah tangga peserta KB yang tergolong Pra KS dan KS I dengan pemberian modal dari BUMN ( BNI, PLN, Indosat dan lain-lain ). Disamping itu, dikembangkan juga kegiatan BKB, BKR, BKL ( Bina Keluarga Balita, Remaja dan Lansia ) serta berbagai kegiatan lainnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Program ini berjalan baik dan berhasil ketika Prof. DR. Haryono Suyono diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Negara Kependudukan / Kepala BKKBN.
Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari tingginya kesertaan ber KB dan mengecil nya jumlah anak yang dilahirkan setiap keluarga. Seandainya tidak ada KB, penduduk Indonesia diperkirakan 280 juta jiwa tahun 2000, namun ternyata hanya 206 juta, berarti berhasil menekan kelahiran sebanyak 74 juta jiwa, suatu jumlah yang tidak kecil.
Atas keberhasilan Program KB dan Sektor Pembangunan lainnya, Presiden Soeharto selama 32 tahun pemerintahannya, beberapa kali memperoleh penghargaan dari PBB, ASEAN serta Negara – Negara Asia. Dan Indonesia dipercaya menjadi Model Pembangunan KB bagi Negara-Negara ber kembang, sekaligus sebagai Pusat Pelatihan Internasional dibidang Kependudukan, KB dan Kesehatan Reproduksi.
Gerakan KB melemah di Era Reformasi
Tuntutan Reformasi yang memaksa Soeharto mundur sebagai Presiden 1998, turut melumpuhkan gerakan KB. Visi Misi NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtra) dengan 2 anak cukup diprotes oleh kaum Reformis dengan dalih melanggar Hak Azasi Manusia ( HAM ). Pengelola dan Pelaksana KB di tingkat Pusat dan Daerah mulai gelisah dan prihatin. Puncak Keprihatinan ketika terbit Keppres No. 103 tahun 2001 tentang Tugas dan Kewenangan Lembaga Pemerintan Non Departemen. Salah satu pasal nya ditegaskan bahwa sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BKKBN akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah selambat-lambatnya 31 Desember 2003.
Desentralisasi Kewenangan dan Penyerahan P 3 D ( Personil, Pembiayaan. Peralatan dan Dokumen ) BKKBN banyak sekali kelemahannya karena tidak di iringi dengan pembentukan Kelembagaan KB yang utuh. Kalaupun ada, Nomenklaturnya Merger dengan Unit yang sudah ada, baik dalam bentuk Dinas, Badan maupun Kantor. Yang lebih parah lagi ialah pengalihan jenis kepegawaian BKKBN dari PNS Pusat menjadi PNS Daerah. Hal ini memberi peluang Pemerintah Kabupaten / Kota menyebar Personil Fungsional PKB yang sudah Professional menjadi tenaga Struktural. Ada jadi Camat, Sekcam, Kasubdin, Kasi, Kaur dan tidak sedikit yng dialih tugaskan ke dinas lain sebagai staf biasa. Akibatnya, Penyuluh KB yng membina Institusi Masyarakat Pedesaan semakin berkurang, sehingga pelaksanaan KB pasca penyerahan praktis menurun drastis. Angka pertumbuhan penduduk kembali meningkat tajam ditandai dengan tingginya TFR ( Total Fertility Rate ) yaitu rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu selama masa suburnya.
TFR di akhir Orde Baru berkisar antara 2,7 – 2,2, dan sudah mengarah kepada Penduduk Tumbuh Seimbang. Namun, baru 10 tahun pemerintahan Reformasi sudah meningkat lagi menjadi 3,2, berarti setiap keluarga mempunyai anak lebih dari 3 orang. Tidak mustahil akan kembali seperti di masa Orde Lama dengan TFR 5, 6, suatu fenomena yang mengkhawatirkan akan terjadinya “Ledakan Penduduk dan Kemiskinan”
Kiranya Pemerintah di alam Demokrasi dan Otonomi Daerah ini menaruh perhatian serius untuk mengembalikan Citra dan Ke Emasan KB sebagaimana pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto. “Selamat Jalan Pak Harto” semoga Arwahnya mendapat tempat yang di Ridhahi oleh Allah, SWT. (Palu, 04 Februari 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar