Rabu, 27 Agustus 2014

Poligami Bukan Sekedar Solusi

Menyimak tulisan pada Koran SUARA SULTENG edisi Kamis, 30 Agustus 2007 halaman 15 dengan judul Wanita Bersedia Poligami Karena Kebutuhan Ekonomi. Dalam uraiannya ditekankan bahwa dari pihak perempuan, ‘Poligami lebih banyak dilatarbelakangi oleh kebutuhan ekonomi untuk dapat keluar dari kemiskinan ….. serta takut dicap sebagai Perawan Tua’

Fenomena seperti itu adalah benar adanya sehingga tidak susah mencari perempuan yang bersedia berpoligami sebagai isteri ke- 2, ke- 3 atau ke- 4. Yang sulit, bahkan mungkin tidak bakal menemukan ialah isteri yang mau dipoligami. Maunya hanya dia yang memiliki suaminya. Padahal Poligami bukan tindak kriminal bukan pula pelecehan dan penghinaan terhadap isteri. Tapi Poligami (Ta’addud zaujat) adalah sebuah fenomena nyata dan sistem yang sesuai etika dan moral semua agama serta kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan.

Hikmah Poligami pada hakekatnya lebih banyak tertuju kepada wanita ketimbang kepada laki-laki sebab dalam sistem poligami ada kemashlahatan bagi wanita secara umum karena mereka akan tetap terpelihara kemuliaannya dan akan memperoleh hak-haknya sebagai isteri resmi. Tapi kalau poligami dipersulit atau dilarang, akan banyak wanita yang terjerumus dalam perselingkuhan dan zina karena mereka ingin dicintai dan juga punya naluri seks, artinya pintu prostitusi, kumpul kebo, WTS/PSK akan terbuka lebar dimana mana. Akibatnya akan menghancurkan martabat wanita itu sendiri, menghilangkan hak-haknya dan anak yang dilahirkan akan dibunuh, kalau toh tetap hidup tidak dikenal siapa ayahnya serta tidak memperoleh hak warisan.

Perkawinan yang didambakan saat Ijab Qabul adalah beristeri satu dengan harapan dapat membentuk rumah tangga bahagia sejahtera (Sakinah). Namun dalam perjalanannya, situasi dan fenomena sosial berubah lalu muncul berbagai problema yang menghendaki suami ingin kawin lagi, misalnya isteri tidak dapat memberikan keturunan, isteri sakit yang susah disembuhkan, isteri tidak mau ikut di mana suaminya mendapat pekerjaan atau demi bisnis/karir isteri selalu bepergian meninggalkan suami. Mungkin juga suami tidak sabar menunggu hari-hari yang dilarang berhubungan pada masa haid dan nifas. Atau suami mempunyai kekuatan biologis lebih dari laki-laki lain (hyper sex) sehingga tidak puas kalau hanya dilayani satu isteri.

Faktor lain ialah mencari keharmonisan dan ketentraman. Tidak sedikit ditemui isteri cantik, kebutuhan materi memadai, namun tidak ada ketenangan dalam keluarga karena isteri tidak mau memposisikan suami sebagai kepala rumah tangga. Barangkali ia angkuh karena kecantikannya, kepintarannya, harta atau merasa ada tetesan darah ningratnya sehingga meremehkan suami. Suami terpaksa selalu mengalah atas kehendak isteri. Laksana kerbau dicucuk hidung, kemana diarahkan kesitu perginya.

Apabila pasangan suami isteri mengalami salah satu atau beberapa dari fenomena tersebut, maka poligami bukan lagi hanya sekadar alternatif atau solusi, tetapi sudah masuk dalam Hukum Taklify (Hukum Yang Lima). Dengan demikian poligami akan berstatus pada salah satu dari lima kepastian hukum, apakah wajib, haram, sunat, makruh,atau mubah, tergantung kondisi dan permasalahan pasangan yang besangkutan.

Kalau masalahnya sudah demikian adanya, lalu isteri introspeksi diri dan menyadarinya, maka alangkah bijaksananya bila isteri berlapang dada dan merelakan suaminya kawin secara resmi daripada ia terjerumus dalam perbuatan tercela dan dosa. Dan jangan minta ditalak sebab biasa terjadi yang karena emosinya dimadu minta ditalak, tapi di kemudian hari ia menyesal karena merasakan betapa repotnya membesarkan anak tanpa suami.

Walaupun poligami adalah hak bagi suami, tetapi tidaklah berarti Allah swt menyuruh semua laki-laki kawin 2, 3, 4 isteri (Q.S An Nisa : 3). Kebolehan itu hanya diberikan bila memenuhi syarat yang disyariatkan. Jangan berpoligami dengan alasan menjalankan syariat dan meneladani Nabi Muhammad tapi melalaikan kewajiban adil terhadap para isteri dan anak-anaknya.

Keadilan yang dimaksudkan di sini sifatnya relatif. Bukan berarti harus sama rata sama rasa dan tidak musti proporsional, yang penting kerelaan, kepuasan dan saling pengertian di antara isteri-isteri atas kemampuan ekonomi suami. Banyak wanita mau kawin bukan karena dilatarbelakangi oleh kebutuhan ekonomi semata. Yang diharapkan ialah perlindungan dan kasih sayang dari seorang laki-laki serta dapat memberikan keturunan. Apalgi isteri kedua, ketiga, atau keempat mempunyai pekerjaan atau penghasilan tetap (PNS atau Pengusaha) dan mungkin sudah punya kendaraan bermotor dan rumah sendiri sehingga tidak terlalu banyak mengharap dari suami (khususnya wanita yang menjelang usia kepala empat)

Tanggapan dari tulisan di SUARA SULTENG tadi jangan dimaknai mendorong semua laki-laki untuk kawin lebih dari satu (Poligami). Tulisan ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang mengalami permasalahan dalam persuamiisterian. Apalah artinya sebuah perkawinan kalau tidak ada kedamaian dan ketenteraman. Penyelesaiannya bukan hanya sekadar anjuran atau solusi seperti mengatasi fenomena sosial lainnya, tetapi barangkali sudah masuk dalam ruang lingkup “wajib hukumnya” poligami.

Sebaliknya, ketika merasa puas dan bahagia dengan satu isteri, mengapa harus kawin lagi. Tidakkah beristeri lebih dari satu dengan anak yang banyak tidak membuat pusing mengurus kebutuhnnya? Beristeri satu (Monogami) dengan jumlah anak ideal lebih memungkinkan mewujudkan keluarga sakinah serta mampu mempersiapkan keturunan yang berkualitas. Semoga! (Palu, 25 September 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar