Sekiranya Maskawin diartikan secara harfiah untuk MAHAR, maka dapat disepakati bahwa mahar dalam suatu perkawinan harus berbentuk EMAS atau materi yang bernilai ekonomis, bukan berupa Kitab Suci Al-Qur’an. Doeloe, Emas dijadikan sebagai mahar karena bernilai tinggi dan sangat berharga bagi manusia.
Dibeberapa daerah telah menjadi tradisi dalam suatu acara Akad Nikah disebutkan dengan mahar sebuah Kitab Suci Al-Qur’an dan seperangkat alat shalat. Al-Qur’an dijadikan sebagai mahar bermula ketika seorang pria terpesona kepada seorang wanita dan ingin sekali mempersuntingnya, tapi tidak punya harta. Karena nekat, lalu ia meng hadap kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi menanya, apa yang ada padamu untuk mahar ? Pemuda itu menjawab tidak ada ya Rasulullah ! Ada cincin besimu ? Tidak ada, Ada ayat – ayat Al-Qur’an yang kau hapal ? iya, Surah apa ? Al-Ikhlash! Kalau kau betul-betul mencintai dan akan setia kepada wanita itu, boleh menikahinya dengan mahar darimu sebuah Surah dari Al-Qur’an, kata Baginda Nabi, dengan harapan kau harus mengajarkannya kepada isterimu nanti. Lalu dinikahkan dia dengan gadis tersebut. Al-Qur’an. disini bukanlah dalam bentuk materi, tetapi hanya bersifat kecerdasan dan keterampilan menghapal Al-Qur.an Surah Al-Ikhlash karena waktu itu ayat-ayat Al- Qur’an belum dicetak dan belum dibukukan seperti sekarang.
Kalau ada yang memberi dan menerima mahar / maskawin di era kesetaraan jender ini, rasanya sudah tidak tepat lagi dan tidak punya arti apa-apa bagi isteri karena wanita muslimah pada umumnya sudah tahu baca tulis Al-Qur’an, bahkan tidak sedikit yang dapat menghapal sejumlah surah dan mengamalkannya. Anehnya lagi jika calon suami itu sendiri tidak / belum lancer membaca Al-Qur’an. Bagaimana mungkin mengajar isterinya.
Ada kesan nilai mahar diremehkan sehingga jarang terdengar suatu lamaran gagal karena pihak laki-laki tidak sanggup menyediakan. Yang sering terjadi ialah karena tingginya permintaan pihak wanita untuk biaya pesta perkawinan. Padahal, pesta perkawinan ( Walimatul Urs ) hanya sunat, sementara mahar wajib adanya meskipun tidak termasuk Rukun Nikah. Firman Allah “ Berikanlah Mahar kepada wanita sebagai pemberian ( wajib ) dengan penuh kerelaan “ ( Q.S. An-Nisa : 4 )
Isteri berhak menolak ajakan suami untuk berhubungan badan sebelum menerima maharnya walau sudah dinikahkan oleh walinya dan disaksikan oleh orang banyak. Mahar ini sangat diperlukan karena ada sesuatu yang terhormat pada diri setiap wanita dan sangat didambakan oleh semua laki-laki sebagai kebutuhan bilogis. Wajar jika sebelum menyerahkan kehormatannya itu, si laki-laki harus terlebih dahulu memberikan sesuatu yang berharga baginya sebagai symbol kesungguhan dan kesediaan memenuhi kebutuhan isteri.
Saat wanita dinikahkan, sejak itu pula tanggung jawab orang tua / wali berpindah kepada sang suami. Segala permasalahan terletak diatas pundak suami, baik kehormatan, keamanan maupun kesejahteraannya.
Adalah semua orang yang memasuki jenjang rumah tangga menghendaki kehidupan bahagia sejahtera, namun harus juga yakin dan percaya terhadap takdir yang tidak diinginkan. Banyak pasangan yang telah mengadakan ikatan / Ijab – Qabul, tetapi tidak sedikit yang terputus di awal atau di tengah perjalanan hidup mereka karena terjadinya perceraian, entah ditinggal mati oleh suami atau karena jatuh thalaq. Betapa samrautnya isteri yang sudah janda bila tidak ada atau belum sempat memperoleh harta semasih bersama suami. Terpaksa orang tua kembali menanggung kebutuhannya seperti sebelum kawin, bahkan semakin repot jika ada cucu dari hasil perkawinan mereka.
Dibeberapa daerah telah menjadi tradisi dalam suatu acara Akad Nikah disebutkan dengan mahar sebuah Kitab Suci Al-Qur’an dan seperangkat alat shalat. Al-Qur’an dijadikan sebagai mahar bermula ketika seorang pria terpesona kepada seorang wanita dan ingin sekali mempersuntingnya, tapi tidak punya harta. Karena nekat, lalu ia meng hadap kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi menanya, apa yang ada padamu untuk mahar ? Pemuda itu menjawab tidak ada ya Rasulullah ! Ada cincin besimu ? Tidak ada, Ada ayat – ayat Al-Qur’an yang kau hapal ? iya, Surah apa ? Al-Ikhlash! Kalau kau betul-betul mencintai dan akan setia kepada wanita itu, boleh menikahinya dengan mahar darimu sebuah Surah dari Al-Qur’an, kata Baginda Nabi, dengan harapan kau harus mengajarkannya kepada isterimu nanti. Lalu dinikahkan dia dengan gadis tersebut. Al-Qur’an. disini bukanlah dalam bentuk materi, tetapi hanya bersifat kecerdasan dan keterampilan menghapal Al-Qur.an Surah Al-Ikhlash karena waktu itu ayat-ayat Al- Qur’an belum dicetak dan belum dibukukan seperti sekarang.
Kalau ada yang memberi dan menerima mahar / maskawin di era kesetaraan jender ini, rasanya sudah tidak tepat lagi dan tidak punya arti apa-apa bagi isteri karena wanita muslimah pada umumnya sudah tahu baca tulis Al-Qur’an, bahkan tidak sedikit yang dapat menghapal sejumlah surah dan mengamalkannya. Anehnya lagi jika calon suami itu sendiri tidak / belum lancer membaca Al-Qur’an. Bagaimana mungkin mengajar isterinya.
Ada kesan nilai mahar diremehkan sehingga jarang terdengar suatu lamaran gagal karena pihak laki-laki tidak sanggup menyediakan. Yang sering terjadi ialah karena tingginya permintaan pihak wanita untuk biaya pesta perkawinan. Padahal, pesta perkawinan ( Walimatul Urs ) hanya sunat, sementara mahar wajib adanya meskipun tidak termasuk Rukun Nikah. Firman Allah “ Berikanlah Mahar kepada wanita sebagai pemberian ( wajib ) dengan penuh kerelaan “ ( Q.S. An-Nisa : 4 )
Isteri berhak menolak ajakan suami untuk berhubungan badan sebelum menerima maharnya walau sudah dinikahkan oleh walinya dan disaksikan oleh orang banyak. Mahar ini sangat diperlukan karena ada sesuatu yang terhormat pada diri setiap wanita dan sangat didambakan oleh semua laki-laki sebagai kebutuhan bilogis. Wajar jika sebelum menyerahkan kehormatannya itu, si laki-laki harus terlebih dahulu memberikan sesuatu yang berharga baginya sebagai symbol kesungguhan dan kesediaan memenuhi kebutuhan isteri.
Saat wanita dinikahkan, sejak itu pula tanggung jawab orang tua / wali berpindah kepada sang suami. Segala permasalahan terletak diatas pundak suami, baik kehormatan, keamanan maupun kesejahteraannya.
Adalah semua orang yang memasuki jenjang rumah tangga menghendaki kehidupan bahagia sejahtera, namun harus juga yakin dan percaya terhadap takdir yang tidak diinginkan. Banyak pasangan yang telah mengadakan ikatan / Ijab – Qabul, tetapi tidak sedikit yang terputus di awal atau di tengah perjalanan hidup mereka karena terjadinya perceraian, entah ditinggal mati oleh suami atau karena jatuh thalaq. Betapa samrautnya isteri yang sudah janda bila tidak ada atau belum sempat memperoleh harta semasih bersama suami. Terpaksa orang tua kembali menanggung kebutuhannya seperti sebelum kawin, bahkan semakin repot jika ada cucu dari hasil perkawinan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar