Sabtu, 09 Agustus 2014

Jangan Menunggu Panggilan ke Baitullah

Ibadah Haji merupakan Rukun Islam yang kelima dan wajib hukumnya bagi yang mampu. Walaupun ia urutan kelima, bukanlah berarti rukun-rukun sebelumnya harus disempurnakan terlebih dahulu. Mungkin saja shalatnya belum kontinyu, zakatnya belum konsisten, puasanya belum maksimal atau masih sering berbuat dosa, tapi ketika sudah punya kemampuan, maka ia wajib menunaikan Ibadah Haji dengan harapan semoga sekembali dari Tanah Suci ia dapat melaksanakan Syariat Islam secara “Kaffah” (Paripurna). Dalam Al-Qur’an disebutkan “Allah mewajibkan manusia mengerjakan haji bagi yang mampu dan sanggup pergi ke Baitullah” (Ali Imran : 97).

Ukuran mampu disini ialah mampu secara fisik dan materi. Mampu fisik artinya harus berbadan sehat dan kuat sehingga dapat mengerjakan semua amalan haji dengan baik. Sedangkan mampu materi yaitu sanggup membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), ada belanja untuk keluarga yang ditinggalkan dan masih ada biaya hidup setelah kembali dari Tanah Suci.

Yang disayangkan selama ini ialah adanya anggapan bahwa orang menunaikan ibadah haji setelah mendapat panggilan dari Allah SWT. Makanya banyak kita temui orang mampu fisik dan materi, tapi belum juga ke Tanah Suci. Kalau ditanya, kenapa belum pergi haji ? “belum ada panggilan”. Padahal panggilan untuk berhaji sudah diseruhkan 5000 tahun yang lalu, 3000 tahun sebelum Masehi atau sekitar 2430 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Al-Kisah, ketika Nabi Ibrahim AS usai merehab dan merenovasi bangunan Ka’bah diseputar Baitullah, Allah memerintahkan agar memanggil anak cucu Adam untuk berhaji. Nabi Ibrahim berkata : “Bagaimana mungkin suaraku ini bisa didengar” Allah menjawab, Kau cukup berseruh kepada mereka, didengar atau tidak, dipenuhi atau tidak, itu adalah urusanKu. Maka naiklah Nabi Ibrahim ke Jabal / bukit Abu Qubais lalu berseruh, Hai sekalian Manusia, sesungguhnya Allah telah mendirikan Rumah (Baitullah) di Mekkah , datanglah kesini untuk berhaji. Kisah ini dapat disimak dalam Al-Qur’an (Wahai Ibrahim) “Umumkanlah kepada semua manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang berkunjung dari berbagai penjuru yang jauh, baik berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan” (Q.S. Al-Haj : 27).

Panggilan tersebut diperbaharui oleh Nabi Muhammad, diteruskan oleh Sahabat- Sahabatnya, disebarluaskan oleh para Ulama dan Muballigh sampai keseluruh penjuru dunia, termasuk di Lembah Palu ini. Tapi seruan Nabi Ibrahim tersebut baru sampai disini sekitar 300 tahun yang silam, yaitu sejak masuknya Agama Islam di Sulawesi Tengah pada abad ke-17 Masehi. Jadi tidak benar kalau dikatakan belum ada panggilan. Barangkali yang tepat ialah belum ditaqdirkan memenuhi panggilan haji.

Memang, berkunjung ke Tanah Suci adalah salah satu taqdir Allah SWT. Banyak diantara kita punya kemampuan fisik dan ekonomi, sudah ada nomor porsinya, bahkan sudah lunas ONHnya, tetapi sesuatu dan lain hal ternyata keberangkatannya batal. Sebaliknya, ada orang yang penghasilannya sedikit, tanggungan keluarga banyak, namun ia dapat memenuhi panggilan Nabi Ibrahim, karena ia berusaha. Jadi, taqdir atau kehendak Allah ada diujung usaha manusia. Allah Maha Adil, Dia akan memberikan sesuatu kepada hambaNya sesuai dengan kadar ikhtiarnya

Sebenarnya, orang yang mempunyai pekerjaan tetap dan berpenghasilan lebih dari cukup, atau penghasilan diatas kebutuhan minimum, semuanya tergolong orang mampu menunaikan Ibadah Haji, yang penting ada “NIAT”.

Niat adalah kehendak hati yang ditetapkan oleh otak, kemudian memberi motivasi berusaha keras untuk mencapainya. Oleh karena itu ketika memasang Niat untuk berhaji, janganlah hendaknya bercampur dengan kepentingan duniawi, misalnya ingin memperoleh Predikat Haji (Pak Haji / Ibu Hajah) atau mau ditempatkan pada posisi diatas dari orang yang bukan haji. Niat harus semata-mata untuk menyahuti panggilan dari Yang Maha Agung, Allah,SWT. “Labbaika Hajjan, Labbaikallahumma” (Ku sambut panggilan Mu untuk berhaji, ku sambut panggilan Mu ya Allah). Kita dipanggil untuk memperoleh “Upah Pahala”, bukan Setoran Upeti. Adakah kemauan di hati untuk bersimpuh di Masjidil Haram yang nilai pahalanya 100.000 (seratus ribu) kali dibanding di masjid lain???

Memang, kalau belum berniat apalagi masih berprinsip menunggu panggilan, maka penghasilan yang lebih dari cukup itu tidak akan terkumpul dana sejumlah yang diperlukan dalam Ibadah Haji karena dihabiskan untuk keperluan yang belum mendesak, seperti; Sudah punya rumah yang layak huni, tapi ia rehab dan diperbesar lagi, sudah ada kendaraan bermotor roda dua / empat, ia ganti dan ditambah lagi dan lain-lain selera yang tidak prioritas. Kalau ditanya, Kapan ke Tanah Suci ? Belum ada Panggilan, suatu jawaban yang tidak diredhai Allah, sebab seakan-akan Tuhan yang disalahkan kenapa belum dipanggil.

Kalau sudah memasang niat yang bulat, dibarengi dengan menyisihkan sebagian rezki yang diberikan Allah sebagai Tabungan Haji, Insya Allah dalam waktu 5 – 10 tahun kedepan kita akan memenuhi panggilan haji. Bahkan mungkin ada yang lebih cepat, itu lebih bagus sebab faktor usia perlu juga diperhitungkan. Idealnya pada umur sebelum 60 tahun. karena haji adalah ibadah fisik. Hampir 100 % dilakukan oleh anggota badan. Mulai berangkat dari tempat tinggal dengan menempuh perjalanan jauh, Tawaf mengelilingi Ka’bah, mencium Hajarul Aswad, Sa’i antara Shafa – Marwah, Wukuf di Arafah, Nginap di Musdalifah, melempar jumrah di Mina, Shalat Arbain di Madinah dan lain-lain. Demikian juga ziarah untuk menyaksikan tempat-tempat bersejarah, semuanya memerlukan tenaga fisik yang sehat dan kuat agar pelaksanaan ibadah haji terasa sempurna dan memuaskan.

Apabila sudah diniatkan karena Allah semata, menyusun perencanaan dan gemar menabung untuk ONH, tapi sesuatu dan lain hal yang menyebabkan tidak ditaqdirkan berangkat ke Tanah Suci hingga akhir hayat, maka yakinlah bahwa Allah SWT akan memberikan pahala seperti orang yang melaksanakan Haji di Mekkah yang balasannya tidak lain kecuali “Sorga“ Insya Allah! (Palu, 01 Januari 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar