Rabu, 27 Agustus 2014

Korupsi & Dampak Psikologisnya Terhadap Keluarga

Salah satu program yang dipertaruhkan Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) saat kampanye calon Presiden 2004 ialah Pemberantasan Korupsi. Kini sudah 3 tahun pemerintahan SBY, tapi belum juga ada tanda-tanda yang menggembirakan. Sudah ada Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berbagai Institusi / Aliansi yang dibentuk untuk memberantas korupsi, namun korupsi tetap merajalela menggorogoti hampir semua instansi dan institusi dari tingkat pusat sampai kepedesaan, tidak terkecuali Departemen / Instansi yang mengemban Misi kejujuran dan kebenaran Ilahiyah, bahkan dikalangan Akademisi yang semestinya mengabdi untuk membentuk SDM yang berkualitas; juga tidak luput dari korupsi.

Dari fenomena tersebut, timbul pertanyaan, apa yang salah di negeri yang tercinta ini ? Ada kesan, Tatanan Kenegaraan, Peraturan Perundang-undangan, Sistem Pengawasan dan Penegakan Supermasi Hukum di Indonesia menjadikan rawan tindak korupsi.

Peraturan Perundang-undangan (PP, Kepres, Inpres, Permen, Kepmen dll) sebagai acuan untuk menelorkan produk hukum, justru memberi peluang berkorupsi, baik dipihak Legislatif maupun Eksekutif.

Seseorang yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di DPRD tidak ada niat untuk mengambil yang bukan haknya. Tetapi ternyata setelah duduk di kursi empuk di lembaga terhormat itu, mereka melihat Peraturan Perundang-undanan yang memberi kewenangan untuk menetapkan berbagai Produk Hukum berupa Peraturan Daerah, termasuk penetapan Perda tentang APBD / Pengelolaan Keuangan Negara (DAU, DAK)

Dengan dasar Peraturan Daerah (Perda) bikinan sendiri, memudahkan mereka menjarah uang rakyat secara berjamaah. Demikian juga seseorang yang mengejar jabatan karir atau jabatan politik tidak ada rencana akan menyalah gunakan wewenang untuk memperkaya diri, namun ternyata setelah menduduki jabatan itu, justru menjadi pintu gerbang ketindak pidana korupsi karena ada segi-segi yang memungkinkan untuk mengeluarkan kebijakan terhadap penggunaan anggaran pada instansi yang dipimpinnya sehingga dalam waktu relatif singkat kekayaannya bertambah secara drastis.

Sistim pengawasan juga memberi peluang melakukan korupsi sebab Instansi pengawasan {Inspektorat / Bawasda) tidak bisa bertindak tegas atas hasil audit / temuannya karena ia termasuk salah satu SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Otonomi yang taktis operasionalnya langsung berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah ( Gubernur, Bupati / Wali Kota ).

Dan yang paling mengecewakan masyarakat, ialah sistim peradilan. Banyak koruptor yang telah di Vonis Hukuman Penjara pada Tingkat Pengadilan Negeri karena memang terbukti perbuatannya, tapi kenapa diberi kesempatan naik Banding sampai ketingkat Kasasi.

Pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi dan Kasasi di Mahkamah Agung, disinilah para Koruptor terpidana itu menempuh berbagai cara, baik melalui jalur politik maupun calo-calo hukum alias Mafia Peradilan. Mereka berusaha sekuat tenaga dan bersedia berkorban habis-habisan, bukan hanya uang hasil korupsinya dihabiskan, malah lebih dari itu asal ia dapat Diputus Bebas dan tidak dipenjara. Ini semua yang menjadikan orang tidak takut berkorupsi.

Siapapun jadi presiden, kalau Peraturan Perundang-undangan dan Sistim Pengawasan tidak diperbaiki serta Sanksi Hukum tidak diperketat dan tidak diperberat, maka korupsi tidak akan dapat diberantas, dan Indonesia tetap pada pringkat atas dalam hal korupsi, walaupun ada BPK ( Badan Pemeriksa Keuangan ) sebagai Lembaga Tinggi Negara.

Dampak Psikologis terhadap Keluarga.

Koruptor yang dijatuhi hukuman penjara pada tingkat pertama tapi tidak mampu mebiayai pengadilan dan tidak tersedia dana membayar pengacara ketingkat banding dan kasasi, terpaksa menerima putusan itu dan harus dieksekusi masuk penjara dengan perasaan malu yang luar biasa. Sejak itu, ia akan merasakan penderitaan lahir batin sepanjang masa, baik selama dalam penjara maupun setelah bebas. Di dalam penjara ia tersiksa karena menjalani sanksi hukum, setelah keluar ia menerima sanksi sosial dari masyarakat. Kekejaman sanksi sosial tidak ada batas waktunya sekian tahun, bisa jadi seumur hidup. Beda dengan orang yang dipenjara karena membunuh demi mempertahankan kehormatan dan harga diri, dalam penjara ia ditakuti sesama nara pidana dan setelah bebas disegani masyarakat.

Tapi Koruptor, walaupun ia sudah dilepas dari penjara, namun ia tetap merasa tersisih dan terbatas dalam intraksi sosial. Harga diri, kewibawaan dan makna hidup terasa tidak ada lagi, sudah Matisuri. “ Hidup Segan, Mati Tak Mau.” Orang Bugis bilang “ Mate Lebo Tana “ Demikian juga terhadap keluarga dan kerabat, akan memberi dampak psikologis yang besar.

Isteri yang pernah menikmati hasil korupsi suaminya terpaksa juga turut menanggung beban moral. Dulunya ceria, penuh percaya diri tampil mengikuti semua kegiatan kemasyarakatan, kini menjadi hilang semangat dan martabatnya serta tersisih dari pergaulan. Begitu juga anak-anak mereka, akan merasa malu beradaptasi dengan teman-temannya, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Akibatnya, akan mempengaruhi prestasi dan minat belajar, bahkan boleh jadi mereka putus sekolah dan lari keperbuatan yang tidak diinginkan ( Narkoba, Miras dll ). Kalau toh, anak itu berhasil dalam pendidikan, mereka akan terhambat lagi memperoleh kesempatan untuk menempati posisi strategis karena orang tuanya tercoreng sebagai bekas nara pidana korupsi. Camkan ! Jangan sampai masa depan anak-anak kita menjadi suram tidak menentu gara-gara perbuatan orang tuanya. Mereka dilahirkan untuk kebanggaan orang tua dan keluarga. (Palu, 1 Desember 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar